SURABAYA – Pemerintah baru-baru ini menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6/2025 sebagai bentuk perlindungan bagi karyawan yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Kebijakan ini memberikan kompensasi sebesar 60% gaji selama enam bulan kepada pekerja terdampak PHK, diharapkan dapat meringankan beban mereka yang kehilangan pekerjaan secara tiba-tiba. Program ini dijalankan berkolaborasi dengan BPJS Ketenagakerjaan.
Achmad Sjafii, ahli ekonomi tenaga kerja dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (UNAIR), memberikan tanggapannya terhadap kebijakan ini.
"Kebijakan ini mencerminkan kepedulian pemerintah terhadap nasib pekerja di tengah tantangan ekonomi," ujar Sjafii.
Namun, ia juga menyoroti beberapa potensi dampak, baik bagi karyawan maupun perusahaan.
Sjafii mengakui bahwa kebijakan ini menimbulkan keresahan di kalangan pekerja.
"Di satu sisi, ada perlindungan, namun di sisi lain, kebijakan ini berpotensi membuat perlindungan kerja semakin rapuh," jelasnya.
Ketidakpastian ekonomi global dan maraknya efisiensi perusahaan dapat meningkatkan risiko PHK, meskipun adanya jaring pengaman ini.
Ia menambahkan kekhawatiran akan kemampuan BPJS Ketenagakerjaan dalam membiayai kompensasi jika terjadi PHK massal.
"Dana JKP dari BPJS Ketenagakerjaan perlu dikaji lebih lanjut apakah cukup kuat untuk menanggung kompensasi selama enam bulan jika terjadi gelombang PHK massal," tambahnya.
Dari sisi perusahaan, Sjafii melihat kebijakan ini sebagai pengurangan beban finansial.
"Pembayaran kompensasi ini mengurangi beban perusahaan, dari 0,46% menjadi 0,36% iuran JKN (setelah PP 6/25) yang ditanggung perusahaan," terangnya.
Namun, ia menekankan pentingnya pengawasan yang ketat terhadap implementasi PP 6/2025 untuk mencegah penyelewengan dana yang dapat merugikan karyawan yang terkena PHK.
"Perusahaan berharap penerapan PP 6/25 dijalankan secara konsisten dan diawasi ketat," tegas Sjafii.
Sjafii menyarankan beberapa langkah strategis. Bagi pekerja, penting untuk memastikan implementasi kebijakan ini tidak terganggu oleh kebijakan efisiensi perusahaan.
"Jika anggaran terkena efisiensi, pembayaran kompensasi bisa terhambat," katanya.
Sementara bagi perusahaan, dukungan pemerintah dalam menciptakan kepastian usaha menjadi kunci.
"Kepastian usaha akan meningkatkan produktivitas dan mengurangi risiko PHK. Selain itu, perusahaan juga perlu memperhatikan kesejahteraan karyawan secara menyeluruh," tutup Sjafii.
Editor : Alim Perdana