Legasi Bermakna: Refleksi Ayat 12 Surah Yasin dalam Konteks Modernitas

Foto ilustrasi/Alim Perdana
Foto ilustrasi/Alim Perdana

Meninggalkan Jejak yang Bermakna
(Refleksi atas Ayat 12 Surah Yasin dan Tantangan Membentuk Legasi dalam Dunia Modern)

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

DI TENGAH riuhnya kehidupan sehari-hari, kita sering terlena oleh kebisingan dunia yang mengukur keberhasilan berdasarkan materialisme semata. Namun, di saat-saat tertentu, ada ayat yang seolah-olah mengingatkan kita untuk berhenti sejenak, merenung, dan mengukur kembali tujuan hidup kita.

Surah Yasin, ayat 12, mengandung sebuah pesan yang menuntut refleksi mendalam: "Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan, dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab yang nyata." (QS. Yasin: 12).

Pernyataan yang tampaknya sederhana ini sesungguhnya mengandung pertanyaan mendalam bagi kita: Apa yang akan dikenang dunia setelah kita pergi? Apa yang kita tinggalkan selain tubuh yang kembali menjadi debu?

Dalam ayat ini, Tuhan tidak hanya mengingatkan kita tentang amal perbuatan kita, tetapi juga tentang bekas yang kita tinggalkan—jejak yang kita bentuk dalam dunia ini, yang kelak akan menjadi bagian dari sejarah peradaban umat manusia. Ini adalah peringatan sekaligus tantangan: seberapa besar jejak kita akan memberi arti dalam kehidupan yang lebih luas?

Bekas yang Kita Tinggalkan: Lebih dari Sekadar Tindakan

Bekas, dalam konteks ini, bukanlah sekadar bentuk fisik atau materi yang dapat dilihat atau dihitung. Bekas yang dimaksud dalam ayat ini adalah apa yang disebut dalam kajian ilmiah sebagai legasi sosial, yang mencakup pengaruh dan dampak jangka panjang dari tindakan, ide, dan nilai yang kita wariskan kepada generasi berikutnya.

Sosialitas manusia, pada akhirnya, adalah tentang apa yang kita tinggalkan: ilmu yang kita sebarkan, nilai-nilai yang kita tanamkan, atau bahkan perubahan dalam cara berpikir yang kita dorong. Dan inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.

Seperti yang dikatakan oleh Harper (2016), legasi sosial tidak terletak pada materi atau pencapaian individual semata, tetapi pada perubahan yang dapat meresap ke dalam tatanan sosial yang lebih besar. Lantas, bagaimana kita memandang legasi ini? Apakah kita cukup sadar akan dampak yang ditimbulkan oleh setiap keputusan dan tindakan kita?

Ilmu Pengetahuan dan Amal Sholeh: Dua Kekuatan yang Mengubah Dunia

Ilmu pengetahuan dan amal sholeh seharusnya tidak dipisahkan. Keduanya memiliki peran yang sangat erat dalam menciptakan perubahan yang bermakna. Dalam perspektif Islam, amal bukan hanya berbicara tentang perbuatan baik, tetapi juga tentang kesadaran diri dan niat yang tulus untuk mengubah dunia menjadi lebih baik.

Konsep ini sejalan dengan pandangan Goleman (2013) yang mengingatkan kita bahwa kecerdasan emosional—kemampuan untuk memahami dan meresapi dampak dari setiap tindakan kita—adalah salah satu kunci untuk menciptakan perubahan yang berarti.

Dalam dunia yang semakin dipenuhi oleh informasi dan pengetahuan, kita harus bijak dalam memilih apa yang kita sebarkan dan wariskan kepada orang lain.

Namun, tidak cukup hanya dengan memberikan ilmu. Apa yang lebih penting adalah bagaimana ilmu tersebut diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, dan bagaimana nilai-nilai tersebut menjadi bagian dari kehidupan kita. Inilah yang kita sebut sebagai amal sholeh, yang tidak hanya memberi dampak bagi diri sendiri, tetapi juga untuk umat manusia.

Dalam dunia yang serba cepat ini, kita cenderung terjebak dalam pengetahuan yang dangkal—pengetahuan yang tidak berdampak, pengetahuan yang hanya bersifat konsumtif. Maka, bagaimana kita bisa mengubah paradigma ini? Bagaimana kita memastikan bahwa setiap pengetahuan yang kita miliki akan menyentuh kehidupan orang lain dengan cara yang positif?

Menulis Sejarah Kita: Perspektif Islam dan Ilmu Pengetahuan

Legasi, dalam tradisi Islam, juga erat kaitannya dengan apa yang kita sebut sebagai amal jariyah—amal yang terus memberi manfaat meski kita sudah tiada. Konsep ini tidak hanya terbatas pada bentuk sedekah atau hibah, tetapi juga mencakup ilmu yang bermanfaat. Seperti yang disebutkan dalam hadis Nabi SAW,

“Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh yang mendoakannya” (HR. Muslim).

Bagi seorang ilmuwan, ini menjadi tantangan besar: bagaimana agar pengetahuan yang kita miliki bukan hanya memberi manfaat sesaat, tetapi benar-benar mengubah cara berpikir dan bertindak banyak orang? Dalam dunia akademik, kita sering dihadapkan pada pertanyaan mengenai relevansi penelitian yang kita lakukan.

Apakah penelitian kita hanya memberikan jawaban bagi persoalan sesaat, ataukah ia membuka jalan bagi perubahan yang lebih besar? Di sinilah letak pentingnya kesadaran bahwa ilmu pengetahuan yang kita hasilkan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan akademik atau praktis semata, tetapi untuk memberi dampak positif bagi umat manusia.

Kesimpulan: Legasi yang Bermakna dalam Dunia yang Kritis

Akhirnya, setiap individu—apakah dia seorang ilmuwan, seorang pekerja sosial, atau seorang pemikir—harus menghadapi pertanyaan mendalam ini: Apa yang kita tinggalkan di dunia ini? Apakah kita cukup sadar akan bekas yang kita bentuk? Di dunia yang semakin terbuka dan penuh informasi ini, kita perlu lebih kritis dalam merenungkan apa yang kita kontribusikan bagi masa depan umat manusia.

Ayat 12 surah Yasin mengajak kita untuk merenung, bukan hanya tentang apa yang kita raih selama hidup, tetapi tentang apa yang kita wariskan.

Setiap tindakan kita, setiap kata yang kita ucapkan, bahkan setiap pemikiran yang kita bagi, adalah bagian dari legasi sosial yang kita bangun. Dan legasi ini—baik itu melalui ilmu, amal, atau pemikiran—akan terus memberi dampak, bahkan setelah kita tidak ada lagi.

Editor : Alim Perdana