SURABAYA – Brain Rot, istilah yang belakangan ini menjadi bahasan hangat dan menjadi tren global. Brain rot telah memicu banyak perdebatan diberbagai kalangan tentang dampak dari konsumsi konten digital dari social media yang berlebihan. Apa sebenarnya brain rot?
Brain rot secara istilah merupakan perilaku yang menggambarkan penurunan fungsi kognitif dan kesehatan mental, akibat terlalu banyak mengkonsumsi konten digital yang tidak bermanfaat.
Meskipun istilah ini baru populer belakangan, catatan tertua brain rot terdapat dalam buku Henry David Thoreau, Walden (1854). Namun secara makna, brain rot telah berevolusi di era digital sekarang, terutama dalam tahun beberapa tahun terakhir. Misalnya dikalangan komunitas online, khususnya Generasi Z dan Alpha, brain rot sering digunakan untuk menggambarkan konten yang dianggap tidak bermakna.
Istilah brain rot digambarkan sebagai sebauah kemerosotan kondisi mental atau intelektual seseorang, yang disebabkan oleh paparan berlebih materi online yang dianggap sepele atau "sampah".
Beberapa penelitian menunjukkan korelasi antara konsumsi berlebihan konten "sampah" (berita sensasional, teori konspirasi, hiburan dangkal) dan dampak negatif pada otak.
Beberapa studi ilmiah tersebut menjelaskan dan menunjukkan bahwa, salah satu dampak penggunaan media sosial yang berlebihan dapat memperpendek rentang perhatian, melemahkan memori, dan mengganggu fungsi kognitif.
Dan setidaknya, para ahli juga telah memperingatkan dampak tersebut, sejak awal abad ke 21, bahkan sebelum era media sosial yang masif.
Dan saat ini, brain rot juga telah dinobatkan sebagai kata tahun ini 2024 oleh Oxford University Press.
Berikut dampak yang brain rot dalam kehidupan sehari-hari dikutip dari beberapa sumber.
1. Terjebak dalam lingkaran konten berulang
Biasanya mereka mengkonsumsi berjam-jam video pendek di media sosial. Hal ini mengakibatkan otak terbiasa dan akhirnya efek yang ditimbulkan adalah kesulitan berfokus pada tugas yang lebih kompleks dalam dunia nyata.
2. Mengabaikan informasi bermakna
Preferensi pada konten yang mudah dicerna dari pada informasi yang kompleks, yang dalam jangka waktu panjang berefek pada penurunan kemampuan berpikir kritis dan analitis.
3. Mengisolasi diri dari interaksi sosial
Penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menggantikan interaksi sosial tatap muka. Mereka lebih memilih dunia maya sebagai wadah aktualisasi diri mereka. Hal ini yang memicu dapat meningkatkan tingkat risiko kesepian dan depresi.
4. Menurunkan kualitas tidur
Paparan cahaya biru dari perangkat digital dapat mengganggu siklus tidur. Hal tersebut yang dapat memperburuk konsentrasi dan suasana hati.
5. Menurunkan produktivitas
Brain rot juga dapat menurunkan produktivitas kerja, karena hilangnya motivasi diri dalam dunia nyata.
Saat ini brain rot, memang bukan merupakan diagnosis medis. Namun perlu dicatat bahwa, perilaku ini saat ini menjadi sebuah istilah yang menggambarkan kekhawatiran akan dampak negatif konsumsi konten digital yang berlebihan di dunia maya.
Hal ini tentu juga perlu menjadi catatan, terutama bagi paraorang tua, bagaimana anak-anak dapat menggunakan media digital secara bijaksana. Hal tersebut sebagai sebuah pertimbangan da prioritas kesehatan mental anak-anak di kasa depan.
Hal tersebut menjadi sangat penting untuk mejadi perhatian serius semua pihak. Ditengah serbuan berbagai konten digital yang dibagikan dengan sangat leluasa, terutama di berbagai platform social media yang saat ini sudah tidak mungkin lagi bisa di hindari.
Meskipun penelitian belum secara khusus meneliti brain rot sebagai suatu kondisi medis, bukti menunjukkan konsumsi konten digital yang berlebihan dan tidak ter-filter dapat berdampak negatif pada fungsi kognitif dan kesehatan mental.
Penting untuk dicatat bahwa banyak studi berfokus pada dampak media sosial secara umum, bukan brain rot secara spesifik.
Editor : Redaksi