Oleh: Abdul Rohman Sukardi
ERA PRESIDEN SOEHARTO masih bisa dijadikan bench mark. Batu uji keberhasilan pembangunan. Khususnya pembangunan ekonomi. Pertumbuhan rata-rata di atas 7% per tahun. Secara konstan selama tiga dekade. Gini ratio tidak terlalu lebar. Artinya kesenjangan kaya-miskin diperpendek.
Swasembada pangan (beras). Komoditas pangan yang lain tidak tergantung impor dalam jumlah besar. Road maps industrialisasi berbasis teknologi-teknologi tinggi berkembang. Prestasi itu masih menjadi terbaik sepanjang sejarah Indonesia merdeka.
Presiden sebelumnya, Soekarno, beridiologi Marhaen. Berpihak pada rakyat kecil. Pada pemilik alat-alat produksi skala gurem. Jargonnya.
Faktanya membangun proyek-proyek mercusuar. Monas, Istiqlal, Gelora Senayan, Gedung DPR/MPR. Memiliki konsep pembangunan semesta berencana. Akan tetapi, secara umum, pembangunan belum terlaksana dengan baik.
Kenapa?
Era Presiden Soekarno diwarnai konsolidasi kebangsaan tiada ujung. Era dimana konsensus nasional masih harus diwujudkan.
Terjadi agresi Militer Belanda I dan II. Pemberontakan-pemberontakan (DI/TII, PRRI/Permesta). Perebutan Irian Barat (1963). Maupun sejumlah konfrontasi seperti ganyang Malaysia.
Puncaknya kudeta PKI 1965. Energi habis dalam belitan konflik. Belum sempat secara fokus membangun.
Pemerintahan Presiden Soekarno mewariskan hyperinflasi hingga 650%. Hutang kepada 32 negara. Termasuk ke negara-negara sosialis.
Hutang itu dinegosiasikan pengembaliannya hingga tahun 1999 oleh pemerintah orde baru.
Indonesia bukan merupakan bagian pemenang PD II. Juga bukan bagian kekuatan Blok Timur (negara-negara Komunis). Memimpinnya bukan perkara mudah.
Hutang ke 32 negara pada era orla menjadikan Indonesia tidak mudah keluar dari cengkeraman negara-negara besar. Harus berdamai dengan kekuatan pemenang pengendali dunia. Negara-negara barat. Penyelesaiannya melalui Paris Club menemui banyak tekanan.
Presiden Soeharto membangun Indonesia melalui tiga pendekatan. Stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Trilogi Pembangunan.
Untuk membangun ekonomi sesuai amanat UUD 1945, ia menggelar atau menandingkan tiga idiologi/sistem sekaligus.
Pertama, idiologi ekonomi pasar terkelola. Dimotori gang Berkley. Dikenal dengan Widjoyonomic. Idiologi ini menghindari “kapitalisme pasar bebas” gagasan Milton Friedman. Seorang pemegang Hadiah Nobel 1976 untuk ilmu ekonomi.
Pemerintahan Presiden Soeharto menerapkan demokrasi ekonomi dengan tidak memberi tempat tiga hal. (1) Sistem “free-fight liberalism”. Liberalisme ekonomi. (2), sistem “etatisme”. Negara mengendalikan penuh sehingga mematikan inisiatif rakyat.
(3), monopoli yang merugikan masyarakat. Monopoli atas “bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya”, sebagaimana amanat UUD dilakukan melalui peraturan/UU. Tidak dengan menguasai sepenuhnya dalam pengelolaan.
Orba akomodatif terhadap PMA (Penanaman Modal Asing). Kran PMA dibuka dengan negative list (pembatasan yang ketat). Termasuk durasi kontrak karya. Dibatasi 30 tahunan.
Presiden Soeharto dituding banyak pihak sebagai pembuka kran PMA. Banyak tidak menyadari UU PMA tahun 1967 ditandatangani Presiden Soekarno. Tanggal 10 Januari 1967. Baru pada Maret 1967 Presiden Soeharto, resmi menjadi pejabat Presiden.
PMA masih merupakan produk kebijakan Presiden Soekarno. Sebagai presiden baru, pemerintahah Presiden Soeharto harus tunduk UU itu.
Menerima PMA merupakan pilihan. Tidak ada negara bisa maju tanpa PMA. Korut, Bhutan, Negara-negara di kepulauan pasifik merupakan sejumlah kecil saja negara tanpa PMA.
Kebijakan PMA Presiden Soeharto dijadikan sasaran kritik. Dianggap terlalu liberal. Walaupun masih sangat terkontrol dibanding liberalnya era reformasi.
Kebijakan ekonomi liberal dinilai hanya akan membuat ketergantungan secara permanen pada kekuatan ekonomi negara-negara barat.
Kedua, Habibinomic. Ialah pembangunan industri-industri strategis berbasis teknologi tinggi. Untuk terwujudnya negara industri.
Habibie dilibatkan menjadi Menristek sejak tahun 1978. Ia diminta memimpin industri-industri strategis. Memperoleh perlindungan istimewa secara kebijakan maupun keamanan. Selayaknya perlindungan terhadap aset ilmuwan pada film-film perang.
Kaisar Intelijen Benny Moerdani memiliki ruangan di BPPT. Khusus menjaga keamanan Habibie.
Kebijakan Habibinomic dimaksudkan keluar dari ketergantungan produk tekonologi dari negara-negara barat. Kebijakan ini sering menuai kritik. Sejumlah pihak menghujat ibarat membangun kolam renang mewah. Pada saat banyak masyarakat memerlukan air minum.
Pembangunan industri-industri strategis ini untuk mengungkit Indonesia menjadi negara maju. Tahun 2000 diproyeksikan sebagai tahun aman. Industri strategis Indonesia sudah akan berproduksi.
Kebijakan ini dihentikan oleh krisis moneter tahun 1997 yang disusul krisis ekonomi dan politik. Sebuah analisis mengemuka. Negara-negara barat tidak ingin Indonesia menjadi negara Industri.
Ketiga, Ekonomi Pancasila. Ialah Koperasi. Presiden Soeharto menumbuhkan banyak koperasi hingga ke pelosok desa. Termasuk KUD (Koperasi Unit Desa).
Kebijakan ini dikritik sebagai “Kebijakan Jenggot”. Bukan membangunkan koperasi secara bottom up. Melainkan Top Down.
Puncaknya adalah penentangan para konglomerat. Ketika Presiden Soeharto meminta 20 persen saham perusahaan-perusahaan besar untuk koperasi.
Saham itu dibayar melalui keuntungan yang didapat dari hasil perusahaan. Para konglomerat itu menolak.
Presiden Soeharto merasa telah berjuang membangun Indonesia. Selama tiga dekade. Hasilnya termasuk dinikmati konglomerat dengan pembesaran skala usahanya.
Saatnya Presiden Soeharto meminta bagian 20% saham. Bukan untuk dirinya. Melainkan untuk koperasi-koperasi. Tahun 1997 Kepresnya sudah dibuat.
Momentum krisis moneter 1997, para konglomerat yang dibesarkan presiden Soeharto itu berbalik arah. Ikut menyudutkan presiden Soeharto melalui tudingan isu kerusuhan rasial tahun 1998.
Presiden Soeharto diframing bertanggung jawab terhadap kerusuhan rasial itu. Walau ia sudah meletakkan jabatan.
Peran besarnya dalam pembangunan ditenggelamkan. Salah satunya oleh isu rasial itu.
Era reformasi, liberalisme mengambil panggung. Menyeruak istilah neolib, neo liberal. Hampir 3 dekade berlalu. Belum bisa melewati prestasi orde baru. Pertumbuhan maupun gini ratio.
Bagaimana Presiden Prabowo akan mengelola ekonomi ketika memimpin kelak?. Apakah akan menjadikan strategi orde baru sebagai bench mark. Atau memiliki model kebijakan yang lain?.
Kita tunggu bersama. Oktober 2024 masih terasa lama.
Editor : Alim Perdana