Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur
TAHUN 2025 hampir berakhir. Satu tahun yang melelahkan namun berharga sebagai cermin besar tentang siapa kita sebagai bangsa. Indonesia terus bergerak, tetapi tak selalu melaju ke arah yang kita harapkan. Ada capaian yang patut disyukuri, namun tidak sedikit pula pekerjaan rumah yang tertinggal.
Baca juga: Refelksi Akhir Tahun: Menutup Tahun dengan Kejernihan Hukum
Di akhir tahun ini, saya ingin mengajak kita menengok kembali perjalanan 2025, sebagai publik, sebagai elite, sebagai umat, sebagai bangsa.
1. Ekonomi:
Pertumbuhan ekonomi kita stabil, tetapi belum sepenuhnya terasa ke bawah. Industri digital tumbuh, startup bermunculan, UMKM mulai mampu menembus pasar regional. Namun di sisi lain, kesenjangan masih tajam.
Akses permodalan belum inklusif, birokrasi izin masih panjang, dan digitalisasi ekonomi belum sepenuhnya menyentuh desa. Banyak masyarakat bekerja keras, tetapi belum tentu naik kelas.
Kita perlu meneduhkan euforia pembangunan fisik dan kembali bertanya: “berapa banyak rakyat yang hidupnya sungguh membaik?”.
Tahun 2026 harus menjadi tahun “human-centered economy”, pertumbuhan yang mengangkat kesejahteraan warga di desa, pesisir, dan kota kecil, bukan hanya yang dekat dengan akses kekuasaan.
2. Politik dan Tata Kelola:
Politik kita masih sering sibuk dengan etalase, bukan etika. Banyak pejabat tampil gagah di depan kamera, tetapi di baliknya kebijakan yang diambil sering tanpa partisipasi publik.
Politik transaksional belum mati, hanya berganti wajah lebih modern. Media sosial menjadi panggung baru pencitraan, bukan ruang dialektika gagasan.
Padahal bangsa besar dibangun bukan oleh politisi yang sibuk membangun brand pribadi, tetapi oleh negarawan yang membangun masa depan.
Tahun 2026 menuntut politik yang lebih matang, transparan, dan berbasis data. Kebijakan harus lahir dari riset, bukan rating. Publik berharap pemimpin turun ke lapangan bukan untuk konten, tetapi untuk mendengar dan bekerja.
3. Sosial dan Kebudayaan:
Di tengah percepatan teknologi, kita menyaksikan perubahan cara hidup yang drastis. Ruang publik dipenuhi debat tanpa empati, percakapan digital lebih bising dibanding dialog di rumah dan kampung.
Anak muda terhubung ke dunia luar, tetapi sering terputus dari nilai lokal. Kita bangga menjadi bangsa besar, tetapi apakah kita masih menjaga kehalusan budi pekerti?
Indonesia membutuhkan revitalisasi budaya: sopan, santun, gotong royong, dan integritas yang dulu menjadi karakter bangsa.
Tahun 2026 harus mengembalikan pendidikan karakter bukan hanya sebagai mata pelajaran, tapi sebagai “habit kolektif”. Kampus, pesantren, ormas, dan komunitas harus turun tangan.
4. Agama:
Baca juga: Mengapa Penegak Hukum Justru Tergoda Korupsi?
Sebagai negara religius, kehidupan keberagamaan kita dipenuhi aktivitas yang semarak. Tetapi ritual sering lebih dominan daripada moral. Masjid ramai, kajian padat, tetapi korupsi tetap terjadi; pungli masih hidup; ketidakadilan masih terasa.
Agama seharusnya menjadi energi untuk membangun akhlak publik, bukan hanya identitas simbolik.
Kita membutuhkan “agama yang membumi”: menghadirkan keadilan, memerangi kemiskinan, menjaga martabat manusia.
Tahun 2026 harus menjadi momentum menguatkan peran ulama, cendekiawan, dan ormas untuk menggerakkan dakwah sosial yang konkret, menguatkan literasi keuangan syariah, ekonomi umat, ekologi, dan akhlak pelayanan publik.
5. Korupsi dan Perilaku Elite:
Inilah titik paling krusial. 2025 mencatat banyak operasi tangkap tangan, mulai dari suap proyek hingga korupsi bansos. Perilaku “pencitraan lebih penting daripada pengabdian” menjadi ironi baru.
Banyak program diumumkan besar-besaran, tetapi realisasi kecil. Laporan dibuat rapi, tetapi manfaatnya tipis. Kita takut korupsi menjadi bagian normal dari system, tapi di lapangan realitanya lain.
Kita butuh culture shock baru dalam pemberantasan korupsi. Bukan hanya menindak, tetapi mencegah lewat tata kelola, transparansi anggaran, reformasi birokrasi, dan digitalisasi layanan publik. Tahun 2026 harus berani memperkuat sistem, bukan hanya memperbanyak spanduk anti korupsi.
6. Penutup: Jalan Menuju 2026
Refleksi ini bukan keluhan, tetapi membangun kesadaran. Indonesia punya modal besar: Bonus demografi anak muda, sumber daya melimpah, tradisi keagamaan kuat, dan optimisme masyarakat yang tinggi.
Baca juga: Tiga OTT Sehari: Memangnya Negeri Apa Ini?
Namun modal itu butuh ditata dengan kepemimpinan yang jujur, kebijakan berbasis akal sehat, dan keberanian meninggalkan pola lama.
Mari jadikan 2026 sebagai tahun perbaikan besar:
1. Ekonomi inklusif berbasis UMKM, desa, dan digital.
2. Politik gagasan, bukan pencitraan.
3. Budaya publik yang santun dan gotong royong.
4. Agama yang menebar rahmat sosial (rahmatan lil ‘alamin).
5. Sistem antikorupsi yang kuat dari hulu hingga hilir.
Kita ingin anak cucu melihat 2026 kelak sebagai titik balik, ketika Indonesia lebih memilih bermartabat ketimbang sekadar jadi populer.
Ketika pejabat lebih memilih bekerja diam-diam daripada pamer di layar. Ketika bangsa ini tumbuh bukan hanya lebih kaya, tetapi lebih beradab.
Semoga refleksi ini menjadi doa sekaligus pengingat. Bahwa Indonesia terlalu besar untuk dikelola dengan kepentingan kecil.
Mari kita tatap 2026 dengan tekad memperbaiki yang keliru, menyempurnakan yang kurang, dan melanjutkan yang baik.
Wallahu a’lam.
Surabaya, 30 Desember 2025
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur
Ulul Albab
Editor : Alim Perdana