Oleh: Ulul Albab
Ketua Litbang DPP AMphuri
Ketua ICMI Jawa Timur
MENJELANG akhir tahun ini, waktu terasa berjalan lebih lambat dari biasanya. Kalender hampir habis, tetapi satu perkara publik justru seperti berhenti di tengah jalan. Kasus dugaan korupsi kuota tambahan haji 2024, yang sejak awal menyedot perhatian luas, hingga kini belum juga menemukan ujungnya.
Baca juga: Jatim Tidak Kekurangan Uang, Tapi Kekurangan Keberanian Membagi
Penyidikan berjalan, saksi dipanggil, bahkan penelusuran ke Arab Saudi sempat mencuat. Namun satu hal masih menggantung, yaitu: kepastian hukum.
Publik pun mulai bertanya-tanya. Apakah kasus ini memang serumit itu? Ataukah sesungguhnya sejak awal persoalannya tidak sesederhana yang dibayangkan?, bahkan mungkin tidak sepenuhnya tepat untuk ditarik ke ranah pidana?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut wajar. Dalam negara hukum, keadilan bukan hanya soal menghukum, tetapi justru soal ketepatan menempatkan perkara pada kerangka hukum yang benar. Dan di sinilah diskursus tentang diskresi menjadi sangat penting.
Dalam hukum administrasi negara, diskresi adalah konsep yang sah dan diakui. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memberikan ruang bagi pejabat publik untuk mengambil keputusan ketika aturan tertulis belum mengatur secara rinci, atau ketika keadaan mendesak menuntut keputusan cepat demi kepentingan umum. Diskresi dimaksudkan untuk mencegah stagnasi pemerintahan, bukan untuk membuka celah penyimpangan.
Dalam penyelenggaraan haji, hukum positif Indonesia memang mengatur komposisi kuota dengan rasio 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus. Ketentuan ini dirancang untuk kondisi normal, yakni kuota dasar tahunan yang direncanakan jauh hari. Aturan ini sah, legitimate, dan tidak dipersoalkan.
Namun kuota tambahan haji 2024 berada dalam situasi yang berbeda. Tambahan kuota tersebut diberikan oleh Pemerintah Arab Saudi dalam waktu yang relatif singkat dan di tengah persiapan operasional haji. Situasi ini menuntut keputusan cepat, karena jika terlambat, kesempatan jamaah Indonesia bisa hilang begitu saja.
Di sinilah pertimbangan lapangan menjadi krusial. Pengalaman bertahun-tahun menunjukkan bahwa titik paling rawan dalam penyelenggaraan haji bukan pada jumlah jamaah, tetapi pada kepadatan ekstrem di Arafah dan Mina.
Karakteristik jamaah reguler dan haji khusus berbeda dalam hal mobilitas, pengelompokan, serta manajemen layanan. Perbedaan ini berpengaruh langsung pada keselamatan dan ketertiban jamaah di puncak haji.
Baca juga: Kajian Akhir Tahun ICMI Jatim, dari Sertifikat ke Pasar Global: PR Ekonomi Halal Jawa Timur 2026
Dengan mempertimbangkan pengalaman empiris tersebut, serta melalui koordinasi teknis dengan Pemerintah Arab Saudi, Menteri Agama menggunakan diskresi administratif untuk menetapkan pembagian kuota tambahan secara 50 persen untuk haji reguler dan 50 persen untuk haji khusus.
Keputusan ini bukan dimaksudkan untuk menabrak hukum, tapi justru untuk menyesuaikan kebijakan dengan realitas lapangan agar kuota tambahan tidak menimbulkan risiko baru.
Masalah muncul ketika diskresi administratif ini langsung dibaca dalam kacamata pidana. Padahal secara teori hukum, diskresi tidak otomatis menjadi tindak pidana. Ia baru bermasalah jika disertai penyalahgunaan wewenang, konflik kepentingan, atau keuntungan pribadi yang terbukti secara konkret.
Tanpa itu, diskresi tetap berada dalam ranah hukum administrasi, yang mekanisme pengujiannya semestinya dilakukan melalui pengadilan tata usaha negara, bukan melalui kriminalisasi kebijakan.
Di sinilah publik perlu bersikap jernih. Mendukung KPK bukan berarti menghilangkan nalar kritis. Sebaliknya, justru dengan menjaga agar penegakan hukum tetap proporsional, kita sedang membantu KPK menjaga marwahnya sendiri. Hukum yang adil bukan hukum yang tergesa-gesa, tapi hukum yang tepat sasaran.
Baca juga: Mengapa Penegak Hukum Justru Tergoda Korupsi?
Menjelang akhir tahun, kasus ini memberi pelajaran penting. Bahwa semangat antikorupsi harus berjalan seiring dengan kecermatan memahami batas antara kebijakan dan kejahatan, antara diskresi dan delik.
Jika setiap keputusan administratif berisiko dipidankan, maka yang lahir bukan pemerintahan yang bersih, tapi pemerintahan yang takut mengambil keputusan.
Menunggu keadilan di ujung tahun seharusnya bukan tentang menunggu siapa yang ditetapkan sebagai tersangka, tetapi menunggu kejernihan hukum: apakah perkara ini memang pidana, atau justru cermin dari kekeliruan kita membaca diskresi.
Dari sana, keadilan sejati akan menemukan jalannya, yaitu: tenang, proporsional, dan bermartabat. (Bagaimana anda?)
Editor : Alim Perdana