Dari Wonosalam ke Dunia, Akademi Buah Nusantara dan Masa Depan Hortikultura Indonesia

ayojatim.com

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

DI tengah hiruk-pikuk gagasan besar tentang masa depan Indonesia, sering kali kita lupa melihat sumber kekuatan yang justru tumbuh tenang di desa-desa. Wonosalam, sebuah kawasan pegunungan di Jombang yang lebih dikenal sebagai pusat durian lokal, tiba-tiba muncul sebagai titik tolak gagasan yang jauh lebih besar dari sekadar wisata buah musiman: Akademi Buah Nusantara.

Baca juga: Reformasi POLRI: Kajian Akademik dari Perspektif Teori Administrasi dan Manajemen Sektor Publik

Di sana, sebuah ide sederhana namun revolusioner sedang disemai, yaitu membuat Indonesia bukan hanya penikmat buah tropis, tetapi pusat keunggulan hortikultura dunia.

Gagasan ini lahir (mungkin saja) bukan dari ruang seminar ber-AC atau think tank ibu kota, tetapi dari interaksi sosial, pengalaman lapangan, dan keberanian untuk bertanya: mengapa Indonesia yang tanahnya paling subur, iklimnya ideal, biodiversitasnya terkaya, justru belum menjadi pemain utama dalam industri buah dunia?

Mengapa Thailand bisa mem-branding durian Monthong hingga mendunia, sementara Indonesia yang memiliki ratusan varietas lokal masih berkutat dengan masalah produktivitas, pascapanen, dan rantai nilai yang timpang?

Akademi Buah Nusantara hendak menjawab pertanyaan itu dengan pendekatan yang jarang kita lihat, yaitu: menggabungkan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya lokal, dan ekosistem kewirausahaan dalam satu wadah pembelajaran.

Ini bukan sekadar tempat belajar tentang budidaya buah, tetapi pusat pengembangan industri hortikultura terintegrasi. Dari pembibitan unggul, sistem irigasi presisi, pascapanen modern, hingga desain wisata edukasi berbasis agro-ekologi.

Sederhananya, Akademi ini ingin mencetak generasi baru petani yang tidak hanya menanam, tetapi mengelola industri buah dari hulu hingga hilir.

Gagasannya terdengar besar. Bahkan mungkin terlalu besar untuk dimulai dari Wonosalam. Namun sejarah telah membuktikan bahwa perubahan besar justru sering dimulai dari tempat-tempat sederhana.

Thailand memulai reformasi besar-besaran di sektor durian dari kebun-kebun kecil di Rayong. Jepang membangun industri buah premium bernilai miliaran yen dari koperasi-koperasi kecil yang menyempurnakan teknik budidaya selama puluhan tahun.

Korea Selatan menjadikan buah melon dan pir sebagai komoditas ekspor unggulan dengan standar kualitas yang begitu disiplin sehingga menjadi benchmark Asia.

Baca juga: Mengapa JR Terhadap UU 14/2025 Tidak Minta Pasal Umrah Mandiri Dihapus Justru Minta Ditambahkan Definisi

Semua perubahan itu dimulai dari inovasi lokal yang ditopang oleh pendidikan dan riset. Dan itu pula sepertinya yang ingin dicapai Akademi Buah Nusantara.

Jika dikaitkan dengan agenda nasional, gagasan ini menjadi semakin relevan. Pemerintahan kini sedang mendorong industrialisasi pangan, transformasi desa, dan hilirisasi komoditas pertanian.

Selama ini hilirisasi hanya dibayangkan untuk nikel atau mineral logam. Tetapi sesungguhnya, hilirisasi terbesar justru ada di sektor yang paling dekat dengan rakyat: pangan dan hortikultura.

Harga buah yang stabil, kualitas yang seragam, rantai distribusi yang efisien, hingga kemampuan ekspor yang terukur. Semua hanya bisa dicapai bila ada pusat-pusat pelatihan, riset, dan inkubasi industri yang hadir di tingkat tapak. Akademi Buah Nusantara dapat menjadi model awal dari “Politeknik Agro” yang selama ini hanya menjadi wacana kebijakan.

Lebih jauh, Akademi ini juga membawa misi kebudayaan. Buah-buahan Nusantara bukan hanya komoditas ekonomi. Ia adalah bagian dari identitas lokal. Setiap varietas buah menyimpan cerita tentang tanah, desa, dan manusia yang merawatnya.

Jika Indonesia ingin menjaga kedaulatan pangannya, maka Indonesia harus memulai dari melestarikan plasma nutfah buah tropis yang jumlahnya luar biasa. Dan itu tidak bisa dilakukan dari pusat; harus dimulai dari desa. Dan, kini Wonosalam memulai langkah pertamanya.

Baca juga: Mengkritisi UU No. 14 Tahun 2025: Jangan Sampai Tata Kelola Haji dan Umrah Menyimpang dari Arah Peradaban

Namun yang membuat Akademi Buah Nusantara layak mendapat perhatian bukan hanya visi jangka panjangnya, tetapi keberanian memulai. Di saat banyak pihak menunggu pemerintah, para penggagas di Dedurian Park memilih bekerja dulu, membangun dulu, dan mengajak pihak lain menyusul.

Di tengah banyaknya program yang berhenti pada rapat-rapat koordinasi, inisiatif ini justru dimulai dengan kerja konkret: mengumpulkan pengetahuan petani, melibatkan akademisi, memetakan potensi kebun, mengembangkan model riset terapan, sampai membangun jejaring industri. Sebuah pendekatan yang menyejukkan sekaligus menggugah: “begin with what you have, not what you wish you had.”

Dan jujur saja, ada kebanggaan tersendiri buat saya, karena inisiatif kerren ini dipelopori oleh tokoh-tokoh ICMI Jawa Timur. Ada nama Yusron Aminullah, ketua Yayasan ABN dan pengelola DeDurian Park yang adalah ketua bidang pengembangan pedesaan dan bisnis umat ICMI Jatim. Juga sebagai ketua ISMI (Ikatan Saudagar Muslim Indonesia) Jatim.

Di tengah banyaknya kegelisahan bahwa banyak organisasi intelektual berhenti pada diskursus, para penggagas Akademi Buah Nusantara menunjukkan bahwa ikhtiar intelektual tidak harus selalu berada di podium atau seminar. Ia bisa turun ke kebun, menyatu dengan tanah, dan menghasilkan perubahan nyata.

 

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru