Oleh: Ulul Albab
Ketua Litbang DPP Amphuri
ADA satu keahlian yang tampaknya hanya dimiliki Indonesia: kita mahir sekali menciptakan masalah, lalu terkejut ketika masalah itu benar-benar terjadi. Kita melonggarkan pintu, lalu bingung mengapa maling bisa masuk.
Baca juga: Jalur Umrah Mandiri Berpotensi Jadi Ancaman Perdagangan Orang?
Kita membuka jalur perjalanan tanpa pengawasan, lalu bertanya-tanya mengapa perdagangan manusia meningkat. Dan kini, lewat UU 14/2025, kita seolah berkata pada sindikat trafficking: “Silakan, kami siapkan karpet merahnya.”
Sejarah sebenarnya sudah memberi peringatan yang cukup. Tetapi entah mengapa, dalam kebijakan publik kita, sejarah sering diperlakukan seperti mantan pacar yang tak diakui.
Padahal sejak 2015, pola kejahatan ini sama persis, seperti seri film yang naskahnya tidak pernah diganti: orang direkrut, diberangkatkan pakai visa umrah, dijemput jaringan, paspor disita, lalu menghilang ke ruang-ruang kerja paksa di Arab Saudi.
Mari bicara data. Hampir setiap laporan resmi (KJRI, Kemlu, Migrant Care, SBMI, TIP Report, UNODC) menyebut hal yang sama seperti paduan suara: visa umrah adalah jalur paling mudah untuk menyelundupkan pekerja migran ilegal. Dan ada satu poin penting yang harus diingat, bahwa: tidak satu pun laporan resmi menyebut PPIU sebagai pintu perdagangan manusia. Tidak satu pun.
Artinya apa? Artinya negara sebenarnya sudah punya model perlindungan yang bekerja: perjalanan umrah yang diawasi, ada penanggung jawab, ada manifest, ada SOP, ada pelaporan jamaah hilang, ada kontrol harga, ada aturan.
Tetapi apa yang dilakukan negara dengan melegalkan jalur umrah mandiri melalui UU baru ini? Justru membuka jalur yang kebalikannya: jalur umrah mandiri tanpa pengawasan. Ibarat kita punya pagar yang kokoh, lalu tiba-tiba membuat celah sebesar pintu garasi tepat di sebelahnya.
Baca juga: Saat Polisi Harus Memilih: Seragam atau Sofa Empuk Jabatan Sipil
Dalam skema umrah mandiri, tidak ada yang tahu siapa berangkat dengan siapa, kapan, lewat travel apa, kembali atau tidak, hilang di mana, atau bekerja diam-diam di rumah majikan mana. Negara seperti kehilangan radar, dan para korban tenggelam begitu saja dalam senyap.
Bahkan sindikat tidak perlu kreatif. Modusnya itu-itu saja sejak 10 tahun lalu, dan tetap berhasil. Kenapa berhasil? Karena negara membiarkan ruang kosong yang sangat luas di antara aturan-aturannya. Dan di sana, kejahatan berpotensi tumbuh subur.
Kita sering mengangkat tema “perlindungan warga negara” dalam seminar, konferensi, pidato pemerintah. Tetapi yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Pasal-pasal dalam UU 14/2025 yang membuka ruang luas untuk umrah mandiri tanpa control, berpotensi melanggar Pasal 28A (hak atas keselamatan), Pasal 28D ayat (1) (hak atas kepastian hukum), dan Pasal 28G ayat (1) (hak atas rasa aman) UUD 1945. Dalam bahasa sederhana: negara wajib melindungi sebelum tragedi terjadi, bukan sesudahnya.
Pertanyaan pentingnya: Jika negara tahu bahwa kasus Pekerja Migran Ilegal (PMI) itu polanya sama selama 10 tahun, mengapa justru membuka jalur yang justru malah dilegalkan dengan sebutan “mandiri”?
Baca juga: Rezekimu Tak Pernah Salah Alamat
Keputusan untuk tidak mengawasi perjalanan umrah mandiri ibarat memutuskan tidak memasang rem pada mobil, lalu berharap mobil itu tetap aman melaju di turunan. Kita mungkin optimis, tetapi bukan begitu cara negara berfungsi.
Judicial Review atas UU 14/2025 bukan sekadar langkah hukum. Ini semacam teriakan terakhir agar negara tidak mengulang kelengahan yang sama. Bahwa ibadah itu suci, tetapi celah hukum di sekitar ibadah bisa sangat profan dan penuh risiko. Bahwa memberi kebebasan tidak boleh berarti melepas keselamatan. Bahwa keinginan mempermudah harus diimbangi kemampuan melindungi.
Jika negara membiarkan celah ini, sindikat akan bekerja dengan penuh syukur. Jika negara lengah, korban berikutnya tinggal menunggu waktu. Dan ketika itu terjadi, jangan salahkan sindikat sepenuhnya. Sebagian kesalahan itu ada pada regulasi yang dibiarkan longgar.
Editor : Alim Perdana