Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur, Akademisi,
Ketua Litbang DPP Amphuri
ADA saat ketika hukum berhenti bicara. Bukan karena pasalnya hilang, tapi karena realitas bergerak terlalu cepat sementara undang-undang tertinggal di belakang.
Baca juga: Uang Haji, Amanah, dan Negara
Itulah yang kini terjadi pada sebagian isi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.
Hukum ini lahir di tengah semangat akuntabilitas. Negara ingin memastikan dana umat, yang nilainya kini menembus ratusan triliun rupiah, dikelola secara aman dan produktif.
Namun, satu dekade kemudian, banyak pasal di dalamnya terasa “bisu”. Tidak lagi mampu menjawab kompleksitas zaman.
Ambil contoh Pasal 26, yang membatasi investasi dana haji hanya pada instrumen keuangan syariah yang aman dan menguntungkan. Rumusannya tampak ideal, tapi di lapangan, ruang geraknya sangat sempit.
“Keuntungan” menjadi tafsir yang kaku, sehingga Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) cenderung bermain aman dengan menempatkan sebagian besar dana di sukuk dan deposito syariah.
Akibatnya, potensi optimalisasi untuk sektor riil seperti perumahan jamaah, infrastruktur haji, atau penguatan industri halal nyaris tak tersentuh.
Kemudian Pasal 45 tentang pelaporan dan pengawasan. Pasal ini memberi mandat kepada BPKH untuk menyampaikan laporan kepada Presiden dan DPR. Namun, mekanisme transparansi publik tidak ditegaskan secara progresif.
Baca juga: Dari Queens ke Dunia: Catatan Jumat untuk Inspirasi Cendekiawan Muda Muslim
Akibatnya, akses masyarakat terhadap informasi real-time soal pemanfaatan dan hasil investasi dana haji masih terbatas. Di era digital, ketika publik menuntut keterbukaan, pasal ini terdengar usang.
Ada pula Pasal 48, yang mengatur sanksi administratif bagi pelanggaran. Namun tanpa instrumen audit forensik independen, pasal ini kehilangan daya gigit. Ia hanya jadi peringatan moral, bukan mekanisme hukum yang efektif.
Inilah yang disebut “pasal bisu”. Tidak salah secara normatif, tetapi gagal berbicara kepada realitas. BPKH berada di simpang: antara amanah syariah dan tantangan modernitas finansial.
Sementara jamaah, setiap tahun, terus bertambah. Dana haji menggunung. Tapi kepastian manfaat langsung bagi mereka masih kabur.
Baca juga: Saatnya Tata Kelola Haji Berkelas Dunia: Integritas, Digital, dan Spiritual
Revisi UU 34/2014 mestinya tak sekadar tambal sulam. Ia harus berani membuka paradigma baru: dana haji bukan hanya angka di laporan keuangan, tapi instrumen strategis pembangunan umat.
Pengelolaan ke depan perlu menegaskan tiga hal: transparansi yang berbasis teknologi, investasi produktif yang terukur, dan pengawasan publik yang real-time.
Undang-undang yang baik bukan hanya mengatur, tapi juga hidup menyapa zamannya. Revisi yang sedang dibahas di DPR adalah momentum untuk “membunyikan” kembali pasal-pasal yang kini membisu.
Agar hukum tak sekadar tertulis, tapi bekerja. Agar amanah umat tidak berhenti di meja administrasi, melainkan kembali kepada jamaah yang menitipkan kepercayaannya.
Editor : Alim Perdana