Runtuhnya Tiga Kebun Binatang Tertua di Indonesia oleh Mafia Berkedok Konservasi

ayojatim.com

Oleh: Singky Soewadji

KEBUN Binatang Surabaya (KBS), yang didirikan pada 31 Agustus 1916 oleh jurnalis H.F.K. Kommer dengan nama Soerabaiasche Planten-en Dierentuin (Kebun Botani dan Kebun Binatang Surabaya), kini tinggal kenangan.

Baca juga: Desakan Pembukaan Bandung Zoo Menguat, APECSi Soroti Status Satwa Dilindungi Milik Negara

Dimulai dari Jalan Kaliondo (sekarang Kapasari), KBS sempat berpindah ke Jalan Groedo pada 1917, sebelum akhirnya menempati lahan di Jalan Darmo (sekarang Jalan Setail No. 1) pada 1920, yang diserahkan oleh perusahaan kereta api Oost-Java Stoomtram (OJS). Prakarsa ini muncul dari hobi Kommer mengumpulkan binatang.

Pada 11 Mei 1923, anggota Perkumpulan Kebun Binatang Surabaya yang baru sepakat menunjuk W.A. Hompes menggantikan J.P. Mooyman, salah seorang pendiri KBS.

Namun, tahun 2000 menjadi awal kemelut panjang di internal pengurus Perkumpulan Kebun Binatang Surabaya, yang kemudian berganti nama menjadi Perkumpulan Taman Flora dan Satwa Kebun Binatang Surabaya (PTFSS).

Kementerian Kehutanan kemudian mencabut izin Lembaga Konservasi dan membentuk Tim Pengelola Sementara (TPS) yang terdiri dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jatim, Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia (PKBSI), dan Pemkot Surabaya.

Tony Sumampau dari Taman Safari Indonesia (TSI), yang juga menjabat sebagai Sekjen PKBSI, ditunjuk sebagai ketua tim.

Pemerintah Kota Surabaya mengambil alih pengelolaan pada tahun 2012, setelah terjadi penjarahan 420 ekor satwa KBS yang kemudian dibagikan ke enam Lembaga Konservasi, termasuk TSI Prigen.

Sebanyak 170 satwa lainnya dikirim ke Taman Hewan Siantar yang dikelola oleh Rahmat Shah, Ketua Umum PKBSI yang menjabat selama dua dekade bersama Tony Sumampau sebagai Sekjen. Rekam jejak kasus penjarahan 420 satwa KBS ini dapat ditelusuri melalui Google.

Badan Hukum Berubah

KBS kemudian dikelola oleh Perusahaan Daerah Taman Satwa Kebun Binatang Surabaya (PDTS KBS) berdasarkan Perda Kota Surabaya No. 19 Tahun 2012 pada bulan Juli 2012.

Kebun Binatang Solo

Kebun Binatang di Solo dimulai sebagai kebun binatang di Taman Sriwedari yang didirikan pada 17 Juli 1901 oleh Sri Susuhunan Pakubuwono X. Pada tahun 1976, koleksi hewan dipindahkan ke Taman Jurug dan dibuka kembali dengan nama Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ).

Setelah direvitalisasi, pada tahun 2022/2023, TSTJ berganti nama menjadi Solo Safari. Namun, hingga kini Pemda Solo belum mendapatkan hasil yang diharapkan, bahkan mulai terjadi perselisihan (beritanya dapat ditelusuri melalui Google).

Kebun Binatang Bandung

Kebun Binatang Bandung awalnya dikenal dengan nama Derenten (Dierentuin dalam bahasa Sunda), yang berarti kebun binatang.

Baca juga: Penutupan Bandung Zoo dan Sorotan Aktivis Konservasi

Didirikan pada tahun 1930 oleh Bandung Zoological Park (BZP), yang dipelopori oleh Direktur Bank Dennis, Hoogland. Pendiriannya disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda melalui keputusan 12 April 1933 No.32.

Pada masa pendudukan Jepang, tempat wisata ini kurang terkelola. Rehabilitasi dilakukan pada tahun 1948 untuk mengembalikan fungsinya.

Pada tahun 1956, atas inisiatif Raden Ema Bratakusumah, Bandung Zoological Park dibubarkan dan berganti menjadi Yayasan Marga Satwa Tamansari pada tahun 1957.

Pada tahun 2003, Bandung Zoo memperoleh izin Lembaga Konservasi Ex-Situ dalam bentuk Kebun Binatang dari Menteri Kehutanan melalui Keputusan Menteri Kehutanan nomor 357/Kpts-II/2003 tanggal 27 Oktober 2003, dengan masa berlaku 30 tahun.

Bandung Zoo juga mendapat Predikat B Sertifikat Hasil Penilaian dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam tahun 2011.

Pada 5 Maret 2017, Raden Romly Bratakusumah (putra Raden Ema Bratakusumah), yang menjabat sebagai Wakil Ketua PKBSI, mengajak Sekjen PKBSI Tony Sumampau (pemilik Taman Safari Indonesia/TSI) untuk mengelola Bandung Zoo bersama Sri Dewi (istri Romly) dengan kuasa penuh.

Enam bulan kemudian, Raden Romly Bratakusumah meninggal dunia, dan sejak saat itu masalah di Bandung Zoo mulai terjadi.

Puncaknya terjadi pada tahun 2025, saat perebutan hak atas Yayasan Margasatwa Tamansari pengelola Bandung Zoo antara John Sumampau (putra Tony Sumampau) dengan Raden Bisma Bratakusumah (putra Raden Romly Bratakusumah).

Baca juga: Kebun Binatang Surabaya Hadapi Tantangan Overpopulasi dan Modernisasi, Perlu Langkah Strategis Pemerintah

Perseteruan ini berakhir dengan vonis 7 tahun penjara bagi Raden Bisma Bratakusumah dan Sri Dewi (istri Raden Romly Bratakusumah) atas tuduhan korupsi tidak membayar sewa lahan milik Pemkot Bandung.

Walikota Bandung dan BPN Kota Bandung patut dicurigai, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi III dan Komisi IV DPR RI layak turun tangan karena konspirasi ini sangat kental dan melibatkan jajaran Kemenhut.

Sekadar Catatan

Harga satwa di dunia internasional cukup fantastis. Seekor Monyet Ekor Panjang (Macaca Fascicularis) yang di Indonesia masuk kategori hama, harganya mencapai US$5.500 atau setara Rp90.750.000.

Kakatua Jambul Orange (Cacatua Citrinocristata) dihargai US$8.000 atau setara Rp132 juta. Bahkan, seekor Komodo (Varanus Komodoensis) bisa mencapai US$1 juta atau setara Rp165 miliar.

Pada tahun 2009, Bekantan (Nasalis Larvatus) dikirim ke Jepang (informasi ini dapat ditelusuri di Google). Tahun 2019, empat ekor Gajah (Elephas Maximus) asal Indonesia "dipinjam" oleh Australia dari Taman Safari Indonesia (TSI) (informasi ini juga dapat ditelusuri di Google). Sesuai aturan dan Undang-Undang, status Satwa Liar adalah milik negara.

Dengan ulasan ini, apakah KPK tertarik dan bergerak setelah Prof. Dr. H. Mohammad Mahfud Mahmuddin, S.H., S.U., M.I.P. (Mahfud MD) berteriak seperti kasus Kereta Cepat Whoosh?

Catatan:
Singky Soewadji merupakan Pemerhati Satwa Lia dan Koordinator Aliansi Pecinta Satwa Liar Indonesia (APECSI)

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru