Magang 20.000 Lulusan: Saatnya Dunia Industri dan Kampus Bertemu di Jalan Tengah

ayojatim.com

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur,
Mantan Rektor PTS di Surabaya

PAGI ini saya mendapatkan pesan WA dari jurnalis, begini pesanya: “Bila berkenan, minta komentar soal program magang nasional yg dimulai tanggal 15 Oktober nanti”. Saya jadi kaget. Lho Kok persis dengan artikel yang sudah saya siapkan tadi malam. Saya tersenyum kecil. Ini tantangan penting, pikir saya. Bukan sekadar soal magang, tapi soal masa depan generasi muda. Langsung saja artikel yang sudah saya buat saya share.

Baca juga: Pelajaran dari Tragedi Robohnya Mushola Pondok Pesantren Al Khoziny

Pemerintah baru saja meluncurkan Program Pemagangan Lulusan Perguruan Tinggi untuk 20.000 sarjana dan diploma baru. Program ini memberi kesempatan magang selama enam bulan, lengkap dengan uang saku setara upah minimum, jaminan sosial tenaga kerja, dan mentor di tempat magang. Langkah ini menjadi bagian dari “Paket Ekonomi 8+4+5” yang digagas
Kementerian Koordinator Perekonomian.

Bagi saya, ini bukan sekadar intervensi ekonomi jangka pendek. Ini strategi pembelajaran lintas sektor, titik temu antara dunia pendidikan dan dunia kerja yang selama ini berjalan di rel masing-masing.

Menyatukan Dua Dunia yang Lama Terpisah

Hubungan kampus dan industri di Indonesia sering digambarkan seperti dua sungai besar yang mengalir sejajar, tapi jarang bersentuhan. Kampus sibuk mencetak sarjana dengan gelar dan idealisme, sementara industri menuntut tenaga siap pakai dengan mental kompetitif dan kecepatan adaptasi.

Program magang ini bisa menjadi jembatan. Ia memberi pengalaman riil kepada lulusan muda tentang bagaimana dunia kerja beroperasi — disiplin waktu, dinamika organisasi, hingga etos kolaborasi. Di sisi lain, industri pun mendapat manfaat: tenaga muda dengan semangat baru yang bisa memperkaya inovasi dan produktivitas.

Namun, jembatan ini harus kuat. Jangan sampai sekadar proyek temporer yang berakhir sebagai statistik program. Perlu ada desain feedback loop antara perusahaan dan kampus: apa yang kurang dari lulusan, apa yang bisa diperbaiki dalam kurikulum, dan kompetensi apa yang perlu diperkuat di masa depan.

Lebih dari Sekadar Uang Saku

Baca juga: Sinergi KPK dan Menteri Haji Untuk Pencegahan Potensi Korupsi

Saya menyambut baik inisiatif pemerintah memberikan uang saku setara UMP. Itu bentuk penghargaan terhadap kerja intelektual sekaligus perlindungan sosial yang layak. Namun, di balik kompensasi finansial, yang lebih berharga sebenarnya adalah kesempatan belajar dan berjejaring.

Sering kali, pekerjaan pertama seseorang tidak ditentukan oleh ijazah, melainkan oleh jejaring dan reputasi yang dibangun selama masa magang. Karena itu, program ini semestinya tidak berhenti pada seremonial peluncuran, melainkan terus dipantau dan dievaluasi.

Perusahaan penyelenggara juga harus benar-benar berperan sebagai mentor, bukan hanya memanfaatkan tenaga magang untuk pekerjaan administratif. Ini bagian dari tanggung jawab moral dan sosial industri terhadap dunia pendidikan dan bangsa.

Momentum yang Tak Boleh Dilewatkan

Baca juga: Sistem Antrean Baru Haji, Terobosan Keadilan bagi Umat

Bagi para rektor, dekan, dan dosen pembimbing, inilah momentum untuk memperkuat link and match antara kampus dan dunia usaha. Sudah saatnya setiap fakultas memiliki peta kebutuhan industri yang diperbarui secara berkala.

Begitu pula bagi pemerintah daerah, mereka bisa ikut mendorong agar potensi lokal terserap oleh program ini, bukan hanya wilayah-wilayah industri besar.

Saya percaya, keberhasilan program magang ini akan menjadi cermin keberhasilan kolaborasi bangsa: antara negara, dunia pendidikan, dan dunia industri. Dan di balik angka “20.000 peserta” itu, sesungguhnya sedang lahir generasi baru Indonesia, generasi yang belajar dari kerja, bukan sekadar dari kuliah.

 

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru