Tiga Perjanjian Suci dalam Al-Qur'an: Ketika Akad Nikah Disetarakan dengan Amanah Para Nabi

ayojatim.com

Oleh: Mochammad Fuad Nadjib
Penghulu Kementrian Agama Kabupaten Sidoarjo

PERNIKAHAN dalam Islam bukanlah sekadar ikatan administratif atau formalitas sosial yang dilegalkan oleh negara. Dalam perspektif Al-Qur'an, pernikahan adalah 'mitsaqan ghalidzan', sebuah perjanjian yang amat berat dan suci. Kata ini tidak sembarangan dipilih oleh Allah SWT, melainkan sarat makna dan tanggung jawab yang mengikat secara spiritual, moral, dan sosial.

Baca juga: KH. Syafi' Misbah Ahmad, Ulama Visioner Wafat di Tanah Suci

Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 21:

“Bagaimana kamu akan mengambilnya (kembali), padahal kamu telah menggauli satu sama lain (sebagai suami istri) dan mereka pun (istri-istrimu) telah membuat perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) denganmu?”

Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa hubungan suami istri bukanlah perkara ringan. Janji yang terucap dalam akad nikah bukan sekadar 'sah' di mata manusia, tapi juga merupakan ikatan yang disaksikan oleh langit dan bumi, oleh malaikat dan Tuhan semesta alam. Maka ketika akad itu diucapkan, sejatinya seseorang tengah menandatangani kontrak suci di hadapan Allah.

Istilah mitsaqan ghalidzan dalam Al-Qur'an hanya digunakan pada tiga konteks yang sangat penting. Pertama kali, istilah mitsaqan ghalidzan muncul dalam konteks ketika Allah mengambil janji dari para nabi-Nya.

“(Ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi, darimu (Muhammad), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam. Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.” (QS. Al-Ahzab: 7)

Dalam ayat ini, Allah menyebutkan bahwa para nabi dipanggil untuk memikul tugas besar, menyampaikan risalah kepada umat manusia. Janji mereka untuk taat, teguh, dan menyampaikan wahyu meski menghadapi rintangan disebut sebagai mitsaqan ghalidzan. Ini menunjukkan betapa beratnya tugas kenabian dalam pandangan Allah.

Kedua, istilah yang sama kembali digunakan dalam peristiwa penting lainnya, yaitu saat Allah mengikat perjanjian dengan Bani Israil. Bahkan, dalam kisah tersebut, Allah sampai mengangkat Gunung Sinai sebagai bentuk ancaman agar mereka serius dalam menepati janji.

“Kami pun telah mengangkat gunung (Sinai) di atas mereka untuk (menguatkan) perjanjian mereka. Kami perintahkan kepada mereka, ‘Masukilah pintu gerbang (Baitulmaqdis) itu sambil bersujud’. Kami perintahkan pula kepada mereka, ‘Janganlah melanggar (peraturan) pada hari Sabat’. Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kukuh.” (QS. An-Nisa: 154)

Perjanjian itu meliputi ketaatan terhadap Taurat dan larangan melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan, termasuk larangan bekerja pada hari Sabat. Sayangnya, sebagian dari mereka tetap melanggar, dan akibatnya pun sangat berat.

Dan yang ketiga, sekaligus paling dekat dengan kehidupan kita, adalah perjanjian nikah. Saat seorang laki-laki mengucapkan ijab kabul, dan perempuan menerima dengan ridha, di situlah Allah menyebut telah terjadi mitsaqan ghalidzan antara keduanya.

Ini membuktikan bahwa akad nikah bukan sekadar perjanjian lisan di depan penghulu, melainkan perjanjian spiritual di hadapan Allah. Ia adalah ikatan seumur hidup yang seberat perjanjian kenabian dan ketaatan pada kitab suci. Sebuah ikatan suci yang tidak bisa dipermainkan atau dijadikan alat coba-coba.

Baca juga: Haflah Akhirussanah SMA Islam Sidoarjo 2025: Wisuda oleh Orang Tua, Simbol Perjuangan dan Doa

Kesamaan istilah ini bukan sekadar kebetulan linguistik. Ini adalah isyarat bahwa pernikahan memiliki bobot yang setara dengan amanah kenabian dalam hal kesungguhan dan konsekuensinya.

Bayangkan, jika para nabi saja harus bersumpah setia pada amanah mereka, maka apakah pantas kita meremehkan akad nikah yang diistilahkan dengan kalimat yang sama?

Sayangnya, pemahaman ini mulai memudar di era sekarang. Banyak orang yang memandang pernikahan sebagai sarana untuk memuaskan romantisme, menunjukkan pencapaian hidup di media sosial, atau bahkan sebagai 'ajang coba-coba' yang tak memerlukan kesiapan mental dan spiritual.

Padahal, menikah tidak pernah sesederhana jatuh cinta dan menjalani hari bersama. Ia adalah perjalanan ibadah, pengorbanan, dan komitmen jangka panjang.

Ketika pernikahan dijalani tanpa kesadaran akan nilai mitsaqan ghalidzan, maka tidak mengherankan jika banyak rumah tangga yang hancur hanya karena hal sepele.

Pertengkaran kecil bisa berubah menjadi perceraian besar karena masing-masing tidak memahami beratnya janji yang telah diucapkan. Ketika akad dianggap main-main, maka dampaknya pun menjadi bencana, baik secara psikologis maupun sosial.

Baca juga: Panji Sosrokartono, Kakak Kartini yang Menyala dalam Diam

Akad nikah bukanlah hanya tentang ijab dan qabul yang diucapkan secara formal di depan penghulu. Ia adalah titik awal dari perjalanan hidup baru yang penuh tantangan dan ujian.

Pernikahan adalah komitmen untuk saling menjaga, saling menghargai, dan saling menguatkan dalam suka dan duka. Di dalamnya terkandung amanah untuk menjadi pasangan yang menuntun satu sama lain menuju surga, bukan justru menjatuhkan dalam neraka emosi dan konflik.

Oleh karena itu, setiap calon pengantin semestinya memahami betul makna mitsaqan ghalidzan sebelum mengucap janji suci itu. Bukan hanya sekadar mempersiapkan pesta yang meriah, tetapi juga mempersiapkan hati, iman, dan mental untuk menjadi bagian dari sebuah perjanjian agung yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.

Pernikahan adalah janji suci, bukan kontrak jangka pendek. Ia adalah bentuk ibadah yang dibungkus dengan cinta, tanggung jawab, dan komitmen.

Maka selayaknya, akad nikah tidak hanya dipersiapkan dengan busana terbaik dan resepsi termewah, tetapi juga dengan pemahaman yang dalam akan makna mitsaqan ghalidzan, perjanjian agung yang seberat amanah para nabi.

Saat kita memaknai pernikahan dengan sungguh-sungguh, di situlah rumah tangga bisa menjadi ladang pahala dan taman surga di dunia.

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru