Menyempurnakan Akad untuk Haji Furoda, Sebuah Gagasan

ayojatim.com

Oleh: Ulul Albab
Ketua Litbang DPP AMPHURI, Ketua ICMI Jawa Timur

SETIAP tahun ribuan umat Islam di Indonesia berikhtiar menunaikan haji furoda, sebuah jalur keberangkatan ibadah haji dengan visa mujamalah dari Kerajaan Arab Saudi, di luar kuota resmi pemerintah.

Baca juga: Karbala dalam Cahaya Ahlus Sunnah: Seri Refleksi Muharram

Jalur ini, meski bukan bagian dari sistem antrian reguler, tetap menjadi harapan banyak umat yang terpanggil secara spiritual dan memiliki kesiapan finansial untuk berangkat lebih cepat. Dan jalur ini sesungguhnya sangat membantu umat yang sudah mampu.

Namun demikian, pelaksanaannya di lapangan tetap harus dalam koridor fiqih yang benar. Bagaimana kita merancang layanan haji furoda yang tidak hanya legal secara administratif, tetapi juga sah secara syariah? Inilah tantangan yang perlu disadari oleh kita semua pemilik PIHK.

Visa Legal, Akad Sah secara Syariah

Visa furoda adalah visa sah menurut hukum Arab Saudi. Tapi perlu kita sadari, dari sisi hukum Indonesia, masih ada kekosongan regulasi teknis. Dalam ruang ini, justru peran moral PIHK menjadi sangat strategis, yakni: menyusun akad secara syar'i, melindungi jamaah, dan memastikan tidak ada unsur gharar (ketidakjelasan) atau tadlis (penipuan) dalam akad transaksi.

Pengalaman di pemberitaan di berbagai media, ternyata masih banyak kasus di mana jamaah dijanjikan keberangkatan, padahal visanya belum pasti tersedia. Inilah yang oleh ulama fiqh muamalah disebut sebagai akad yang mengandung gharar muharram, yaitu ketidakjelasan yang diharamkan, yang merugikan salah satu pihak dan tidak boleh dibiarkan. (Lihat: al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid 4)

Untuk menjawab problem ini, para praktisi dapat mengadopsi model akad wakalah bil ujrah, yaitu akad perwakilan jasa dengan imbalan tertentu, namun disertai transparansi risiko. PIHK menjadi wakil resmi untuk mengupayakan visa furoda, dan jamaah paham bahwa keberhasilan bukan sesuatu yang pasti.

Baca juga: Menjadikan Tahun Baru Hijriyah sebagai Momentum Perbaikan Kepemimpinan Sekolah Islam di Era Digital

Jika visa berhasil, PIHK berhak atas ujrah (fee). Bila tidak, maka dana dikembalikan sesuai kesepakatan yang adil. Bahkan bisa juga digunakan akad jualah, yaitu imbalan yang hanya dibayar jika usaha pengurusan visa berhasil. Model ini telah diakomodasi dalam berbagai fatwa DSN-MUI dan praktik perbankan syariah kontemporer.

Prinsip kehati-hatian mengajarkan kita agar harga visa dan layanan lainnya dipisahkan dalam akad. Ini biar ada keterbukaan, juga untuk menjaga akuntabilitas. Jika visa gagal, maka akomodasi, konsumsi, dan manasik tidak otomatis hangus. Jamaah tidak dirugikan, PIHK pun tidak terbebani secara moral dan hukum.

Standarisasi Akad dan Literasi Jamaah

AMPHURI dan asosiasi lainnya dapat menjadi pelopor penyusunan standar nasional akad-akad furoda berbasis fiqh muamalah. Prinsipnya, akad itu harus: (a). Ditulis secara tertib dan jelas. (b). Dijelaskan kepada jamaah sebelum pembayaran. (c). Disertai hak dan kewajiban, termasuk klausul pembatalan.

Baca juga: Kami Mau Hentikan Kepura-puraan

Dan yang tak kalah pentingnya yaitu edukasi kepada jamaah. Jamaah harus memahami bahwa niat baik saja tidak cukup; niat yang baik harus ditopang dengan akad yang sah.

Jalur furoda adalah jalur eksklusif. Tapi justru karena eksklusif, maka tanggung jawab moral dan syar'i kita juga lebih besar. Jangan sampai layanan premium berubah menjadi lahan keluhan, gugatan, bahkan pelanggaran hukum hanya karena kita lalai menyusun akad secara halal dan transparan.

 

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru