Karbala dalam Cahaya Ahlus Sunnah: Seri Refleksi Muharram

ayojatim.com

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

MUHARRAM adalah awal tahun Hijriyah, sekaligus bulan penuh pesan spiritual. Di antara pesan menarik yang dihadirkan Muharram adalah tragedi Karbala, yang terjadi pada 10 Muharram 61 H.

Baca juga: Menjadikan Tahun Baru Hijriyah sebagai Momentum Perbaikan Kepemimpinan Sekolah Islam di Era Digital

Sebuah peristiwa yang menggores luka sejarah, juga memahat pesan tentang keadilan, keberanian, dan integritas moral dari seorang tokoh mulia, yaitu: Sayyidina Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu.
Cucu Rosulullah SAW.

Kisah ini sering kali diasosiasikan dengan kelompok tertentu (Syiah). Padahal, dalam khazanah Ahlus Sunnah wal Jamaah, tragedi Karbala tercatat dengan lengkap dan penuh hormat.

Sejarawan seperti Imam Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa an-Nihayah menyebutkan secara detail kronologi Karbala dan perjuangan Husain.

Bahkan Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A'lam an-Nubala menggambarkan Husain sebagai "seorang pemimpin yang shaleh dan pemilik kemuliaan nasab serta keteguhan jiwa" (Adz-Dzahabi, Siyar A'lam an-Nubala, jilid 3, hlm. 280).

Bermula Dari Tidak Berkenan Membaiat

Setelah wafatnya Muawiyah bin Abi Sufyan, tampuk kepemimpinan diserahkan kepada anaknya, Yazid bin Muawiyah. Sayyidina Husain, sebagai cucu Nabi dan tokoh Ahlul Bait, tidak serta-merta memberikan baiat. Bukan karena ambisi politik, tetapi karena nurani keimanannya terusik oleh gaya hidup, akhlak, dan sistem yang dibangun oleh penguasa baru tersebut.

Dalam catatan para ulama Sunni, termasuk Imam As-Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa, disebutkan bahwa Husain menolak membaiat Yazid karena Yazid dikenal suka lalai dalam ibadah dan menyimpang dalam perilaku yang diajarkan Rosululloh SAW (As-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, hlm. 208).

Husain menilai bahwa membaiat seorang pemimpin yang tidak memenuhi syarat moral dan syar'i adalah bentuk pembiaran terhadap penyimpangan umat.

Dalam catatan sejarah, Yazid dikenal sebagai peminum khamar, pengabaian salat, dan perusak akhlak masyarakat. Bagi Husain, membaiat seorang pemimpin tidak hanya soal formalitas, tapi pernyataan moral dan tanggung jawab terhadap umat.

Kabar tentang penolakan Sayyidina Husain untuk membaiat Yazid menyebar hingga ke Kufah, yang kala itu merupakan wilayah strategis dalam pemerintahan Islam.

Penduduk Kufah, yang sebelumnya merupakan pendukung Sayyidina Ali, mengirimkan lebih dari 100 surat dan utusan kepada Husain agar datang ke Kufah dan memimpin mereka menggantikan kekuasaan Yazid.

Mereka menjanjikan dukungan penuh dan menyatakan kesetiaan (At-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jilid 4, hlm. 275).

Mendengar seruan tersebut, Sayyidina Husain mengutus sepupunya, Muslim bin Aqil, untuk menilai situasi di Kufah. Awalnya, Muslim menerima sambutan hangat dan dukungan dari ribuan penduduk.

Namun setelah gubernur Kufah sebelumnya, Nu'man bin Basyir, yang dikenal lemah dalam ketegasan politik, digantikan oleh Ubaidillah bin Ziyad oleh Yazid, situasi berubah drastis.

Baca juga: Kami Mau Hentikan Kepura-puraan

Muslim bin Aqil ditangkap dan dibunuh, serta surat-surat dukungan rakyat Kufah dianggap sebagai pengkhianatan.

Meskipun mengetahui situasi telah berubah, Sayyidina Husain tetap melanjutkan perjalanannya ke Kufah, karena beliau merasa telah berkomitmen terhadap panggilan umat dan tidak ingin mengingkari janji, sekalipun nyawanya menjadi taruhannya.

Beliau berkata, "Aku tidak keluar karena ambisi, kesombongan, atau kezaliman. Aku keluar untuk melakukan islah (perbaikan) di tengah umat kakekku" (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah, jilid 8, hlm. 162).

Tragedi 10 Muharram di Karbala

Perjalanan Husain ke Kufah berujung di Karbala. Di sanalah beliau dan rombongan kecilnya yang terdiri dari keluarga dan sahabat setia dikepung oleh ribuan pasukan Yazid. Air dari Sungai Eufrat diblokade. Hari-hari berlalu dalam panas dan haus. Hingga akhirnya, pada 10 Muharram, satu per satu keluarganya gugur.

Sayyidina Husain akhirnya syahid dalam keadaan mempertahankan prinsip. Imam At-Tabari mencatat bahwa kepala Husain dipenggal, dan jasadnya tidak dimakamkan dengan semestinya (At-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jilid 4, hlm. 342).

Namun justru dari tragedi itu, Husain diabadikan sebagai simbol kebenaran. Seperti kata Ibn Hajar al-Asqalani: "Husain terbunuh bukan karena kelemahan, tapi karena ia memilih mati bermartabat daripada hidup dalam kehinaan" (Tahdzib at-Tahdzib, jilid 2, hlm. 353).

Refleksi untuk Umat dan Bangsa

Baca juga: Kado Istimewa di Tahun Baru Islam, Sekolah Islam Lampaui Sekolah Negeri

Tragedi Karbala adalah pelajaran lintas zaman. Dalam konteks kebangsaan, seperti yang kini kita hadapi, kita sedang menghadapi berbagai tantangan moral, misalnya: pemimpin yang mengejar kekuasaan tanpa etika, kebenaran yang sesungguhnya dikalahkan oleh hoax yang dimenej dengan canggih, umat yang dibungkam oleh pragmatisme, dan generasi muda yang kehilangan figur keteladanan.

Sebagai aktivis ICMI, saya ingin mengajak umat untuk menjadikan Muharram sebagai momentum membangun ulang kesadaran etis umat Islam Indonesia. Kepemimpinan bukan warisan, tapi amanah. Dan kebenaran, meski sunyi, akan selalu menang di mata sejarah.

Sayyidina Husain Milik Semua Umat

Sayyidina Husain bukan milik satu mazhab. Beliau adalah bagian dari sejarah Islam yang dirawat oleh para ulama Ahlus Sunnah. Kita ahli sunnah wal jamaah tidak perlu mengadopsi cara-cara berlebihan untuk mengenangnya. Apalagi mengkultuskanya. Tapi kita wajib mengambil pelajaran darinya.

Mari kita hidupkan Muharram ini dengan keberanian bersuara adil, menjaga akhlak di tengah arus duniawi, dan memperkuat cinta kita pada Ahlul Bait dalam kerangka adab dan ilmu.

Sebagaimana dikatakan oleh ulama besar Imam Al-Ghazali: "Kebatilan yang terorganisir bisa mengalahkan kebenaran yang diam." Dan Husain telah membuktikan bahwa diam bukan pilihan, dan kebenaran layak dibela meski sendirian.

 

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru