Laptop 9,9 Triliun: Saatnya Tata Kelola Pengadaan Barang Publik Direformasi

ayojatim.com

Oleh: Ulul Albab,
Aakademisi Universitas Dr. Soetomo
Ketua ICMI Jawa Timur

KASUS dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook senilai Rp9,9 triliun yang menyeruak ke ruang publik pada pertengahan 2025 menjadi lonceng peringatan keras bagi tata kelola pengadaan barang publik di Indonesia.

Baca juga: Obrolan Warung Kopi Tentang Fakultas Ilmu Komunikasi di Era AI

Program ini berlangsung dalam masa kepemimpinan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2019–2022).

Program pengadaan, yang disebut bertujuan untuk menjawab kebutuhan belajar di masa pandemi, ini kini menjadi sorotan karena diduga menyimpan pelanggaran serius.

Padahal, dengan semangat transformasi digital pendidikan, program ini semestinya menjadi simbol kebijakan responsif dan adaptif dalam krisis. Namun kini, publik justru menyaksikan ironi dari kebijakan yang awalnya tampak “berpihak pada siswa” itu.

Koreksi atas Kecacatan Sistemik
Masalah pengadaan barang pemerintah tidak bisa dilihat sebagai kasus personal atau sektoral semata. Kasus ini betapapun bisa dilihat sebagai cermin kecacatan sistemik, yaitu: perencanaan pengadaan yang belum sepenuhnya berbasis kebutuhan riil, lemahnya kontrol internal, dan budaya "asal serap anggaran" di akhir tahun fiskal.

Meski mantan Menteri Nadiem menyebut bahwa e-katalog LKPP dan pendampingan Jamdatun telah dilakukan, namun kasus ini menunjukkan bahwa tools formal belum menjamin integritas substansi.

Apalagi, ketika teknologi seperti Chromebook dibeli dalam jumlah besar, maka publik wajar bertanya: apakah sekolah-sekolah benar-benar siap dari sisi infrastruktur dan SDM untuk menggunakannya? Ataukah perangkat ini hanya menjadi “proyek anggaran” yang dibiarkan menumpuk di lemari sekolah?

Korupsi Kebijakan Publik

Dugaan korupsi pengadaan Chromebook ini perlu dikaji bukan hanya dari sisi hukum, tetapi juga sebagai korupsi kebijakan.

Baca juga: Masih Wajibkah Haji di Tengah Antrean Panjang?

Dalam banyak kasus, korupsi kebijakan dilakukan dengan menyiasati regulasi, melibatkan aktor formal, tetapi dengan motif dan manuver yang menyimpang dari nilai-nilai publik. Ini jauh lebih berbahaya karena legalitas formal menutupi cacat etika dan akuntabilitas substantif.

Dalam konteks ini, reformasi pengadaan barang/jasa pemerintah harus diarahkan tidak hanya pada transparansi prosedural, tetapi juga pada audit kebijakan. Program strategis nasional, apalagi dengan nilai triliunan rupiah, perlu dikawal bukan hanya oleh inspektorat dan aparat penegak hukum, tapi juga melalui partisipasi masyarakat, media, dan komunitas akademik.

Momentum Pembenahan

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kini punya momentum kuat untuk melakukan koreksi struktural. Reformasi tata kelola belanja negara (khususnya di sektor pendidikan dan teknologi) perlu disegerakan.

Pengadaan yang berlandaskan pada kebutuhan nyata, berbasis data, serta partisipatif harus menjadi norma baru.

Baca juga: Refleksi Jurusan Sastra Inggris dan Jepang di Era AI: Antara Tantangan dan Peluang

Satu hal yang perlu digarisbawahi, yaitu: penguatan sistem saja tidak cukup tanpa integritas aktor.

Sebaliknya, integritas pribadi bisa runtuh jika sistem memberi peluang besar untuk manipulasi. Maka sinergi antara sistem yang tangguh dan manusia yang amanah menjadi kunci utama.

Kasus laptop 9,9 triliun ini bukan hanya soal siapa yang salah, tetapi juga soal apa yang salah dalam sistem kita. Ini saatnya negara mengambil pelajaran strategis dan menjadikan skandal ini sebagai momentum besar untuk menghindari jebakan kebijakan yang disetir oleh logika proyek, bukan logika pelayanan publik.

Penulis: Ulul Albab adalah Akademisi Administrasi Publik yang juga Pengajar Pendidikan Anti Korupsi, Desertasinya tentang Pemberantasan Korupsi. Ia juga Ketua ICMI Jawa Timur.

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru