Refleksi Ringan Tentang Jurusan Akuntansi dan Manajemen di Era AI

ayojatim.com

Oleh: Ulul Albab
Mantan Rektor Universitas Dr. Soetomo,
Ketua ICMI Jawa Timur

DI sebuah ruang kelas fakultas ekonomi yang dulu ramai dengan mahasiswa berburu gelar akuntan dan manajer, kini suasananya berbeda. Suara-suara pengantar kuliah yang biasanya membahas ledger, neraca, dan teori manajemen klasik, perlahan digeser oleh diskusi tentang Python, analitik prediktif, dan otomatisasi audit.

Baca juga: Menyatukan Teknologi dan Kemanusiaan dalam Pendidikan Tinggi di Era AI

Dunia berubah, dan fakultas ekonomi kini ramai-ramai berbenah agar tetap relevan dan tidak ditinggal mahasiswanya.

Begitulan yang kini terjadi. Kecerdasan buatan (AI) kini bukan lagi alat bantu, tetapi telah menjadi aktor utama yang mengubah wajah industri. Di kampus-kampus, para dosen mulai gelisah melihat tren penurunan peminat jurusan akuntansi dan manajemen.

“Dulu kami selalu masuk lima besar pilihan favorit. Sekarang, mahasiswa lebih banyak memilih teknologi informasi atau desain digital.”

Narasi di atas hanyalah karangan penulis untuk mengilustrasikan kondisi serangan AI pada fakultas ekonomi, sekaligus untuk memprovokasi para penyelenggara pendidikan tinggi bidang akuntansi dan manajemen agar segera bertransformasi. Maafkan penulis jika ilustrasinya agak terkesan berlebihan atau bahkan “menakutkan”.

Tetapi sesungguhnya ilustrasi tersebut sebagiannya kini benar-benar terjadi di beberapa kampus. Dan ilustrasi tersebut penulis susun dari hasil diskusi mendalam dengan teman-teman pengelola fakultas ekonomi.

Ketika Mesin Mengambil Alih

Dalam dunia akuntansi, perangkat lunak seperti Xero, QuickBooks, dan SAP telah mengambil alih pekerjaan-pekerjaan dasar, misalnya: mencatat transaksi, menyusun laporan, hingga menjalankan audit secara otomatis. Bahkan lebih cepat, juga lebih teliti dari manusia. Algoritma mampu mendeteksi anomali yang sering terlewatkan oleh mata manusia.

Di dunia manajemen, peran manajer juga mulai direduksi oleh mesin. Keputusan berbasis intuisi kini digantikan oleh predictive analytics dan AI-powered decision systems. Bahkan dalam manajemen pelanggan, chatbot sudah menjadi garda depan komunikasi. Mesin berbicara, manusia mendengarkan. Di sini taka da peran “manusia”. Semuanya mesin.

Nah, sekarang kita perlu menjawab sebuah pertanyaan. Sebetulnya pertanyaannya sederhana tapi menggigit, yaitu: kalau semua bisa dilakukan oleh mesin, lalu apa yang tersisa untuk manusia?

Jangan-jangan memang benar bahwa ke depan akan banyak industri yang mem-PHK karyawannya karena mereka sudah menerapkan teknologi AI. Bahkan sekarang pun kita sudah banyak membaca kasus PHK massal dimana-mana, meskipun kita belum punya data valid bahwa itu merupakan dampak negative AI.

Manusia: Dari Operator ke Orkestra

Baca juga: Menguatkan Peran Jurusan Administrasi Publik di Era AI

Jawaban atas pertanyaan yang “menggigit” tadi memang bukan pada teknologi AI yang sedang kita bicarakan ini, tetapi pada nilai tambah manusia. Artinya, ke depan, lulusan fakultas ekonomi, utamanya akuntansi dan manajemen, harus dipoles sedemikian rupa memiliki kemampuan dan nilai tambah jauh lebih kuat dan lebih baik dari sebelum-sebelumnya.

AI memang bisa memproses data, tapi AI jelas tak punya nurani. AI bisa menyusun laporan, tapi tak bisa memahami makna di baliknya. Inilah celah yang tak bisa digantikan. Dan inilah peluang yang harus segera diambil oleh penyelenggara fakultas ekonomi.

Seorang akuntan masa depan tidak cukup hanya paham debit dan kredit. Mereka para lulusan akuntansi harus mampu membaca risiko, memahami konteks hukum, dan menjadi penasihat strategis.
Begitu pula masa depan lulusan manajemen.

Dalam manajemen, teknologi memang bisa memberi data, tetapi tidak bisa memberi arah. Hanya manusia yang bisa memberi arah. Misalnyan terkait dengan: Empati, kepemimpinan, dan intuisi. Dimana hal tersebut masih jadi kunci dalam mengelola ketidakpastian bisnis, dan ini hanya bisa dimiliki dan dilakukan oleh manusia cerdas. Bukan oleh mesin.

Pendidikan Tinggi: Terlambat atau Bersiap?

Masalahnya sekarang, kadang kampus-kampus kita ini sering terlalu lambat berubah. Terlalu asik dan nyaman bekerja di zona aman. Hehehe. Kurikulum masih berkutat pada teori klasik, padahal dunia luar sudah bicara machine learning dan cloud-based accounting. Mahasiswa dibekali rumus, tapi gagap menghadapi dashboard interaktif.

Jika mau berubah, maka penulis mencatat sedikitnya ada 3 hal mendesak yang harus dilakukan: Pertama; Redesain kurikulum. Kampus harus mulai mengajarkan mata kuliah seperti Audit Digital, Data Analytics, dan Strategi Inovasi Berbasis AI.

Baca juga: Mengakhiri Monopoli, Membangun Pelayanan Haji yang Prima

Kedua; Kolaborasi lintas disiplin. Mahasiswa manajemen harus paham teknologi. Mahasiswa akuntansi harus belajar berpikir strategis dan etis. Ketiga; Kontekstualisasi pembelajaran. Proyek nyata, magang di startup, dan studi kasus transformasi digital harus jadi bagian kurikulum.

Dan satu hal yang sering terlupakan: nilai etis. Di tengah kekuatan algoritma, manusia tetap harus menjadi penjaga dan pengendali moral. Jangan sampai semua Keputusan dipercayakan pada output yang dihasikan AI. Dan ini bisa dilakukan dengan baik dengan syarat factor manusianya dipersiapkan dengan baik, sebagai penjaga dan pengendali nilai etik.

AI Tidak Membunuh, Tapi Menggeser

Sejarah mencatat bahwa mesin uap tak membunuh tukang kayu, tapi mereka yang menolak belajar mengoperasikan gergaji mesin tentu akan tergilas. Demikian pula AI. Ia tak membunuh profesi, tapi jangan lupa ia bisa membunuh rutinitas. Kata kuncinya adalah; jika mau bertahan maka harus berevolusi. Kapan? Mestinya sejak kemaren. Hehehe.

Jika pendidikan tinggi tak segera berbenah, fakultas ekonomi bisa jadi museum loh. Tapi jika berani melompat ke masa depan, maka justru fakultas ekonomi akan menjadi laboratorium transformatif untuk menyiapkan generasi yang bukan hanya cerdas, tapi juga relevan dan bijaksana.

Karena sebenarnya, bicara AI bukan bicara siapa yang tercepat, tapi siapa yang paling siap menjadikannya alat untuk melayani manusia, bukan menggantikan manusia. Tentu saja pilihan terserah ANDA. Hehehe.

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru