Menghidupkan Kembali Makna dan Ruh Ibadah Qurban

ayojatim.com

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur, Ketua Litbang DPP Amphuri,
Dewan Pembina Yayasan Masjid Subulussalam

MOMEN besar yang kita tunggu-tunggu setelah Idul Fitri adalah Idul Adha. Yaitu hari raya agung dalam Islam yang tidak hanya disyariatkan untuk berpuasa (bagi yang tidak berhaji) dan berhaji (bagi yang mampu), tetapi juga diperintahkan untuk menyembelih hewan qurban bagi yang memiliki kelapangan rezeki.

Baca juga: Bagaimana Lulusan PT Masa Depan Yang Ideal di Era AI?

Pertanyaannya adalah: Sudahkah kita benar-benar mempersiapkan momen penting ini secara lahir dan batin? Sudahkah kita memahami bahwa perintah berqurban bukan sekadar menyembelih hewan, tetapi bentuk latihan spiritual yang dalam?

Jangan-jangan kita memaknai qurban hanya sebagai acara ritual simbolik, yaitu: menyembelih hewan, berbagi daging, lalu selesai. Padahal, dalam Al-Qur’an, Allah SWT sudah mengingatkan: “Daging-daging dan darah (hewan) qurban itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian.” (QS. Al-Hajj: 37)

Artinya, ibadah qurban harus dimaknai lebih dalam dari sekedar menyembelih hewan. Ayat tersebut menegaskan bahwa yang Allah nilai bukanlah daging hewan qurban kita, juga bukan darah yang dikucurkan. Tetapi ketakwaan dan keikhlasan hati kita dalam menjalankannya.

Qurban: Latihan Ikhlas dan Kepedulian

Ibadah qurban memiliki dimensi ganda: spiritual dan sosial. Dari sisi spiritual, ia mengajarkan keikhlasan sebagaimana ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Seorang ayah yang rela mengorbankan anaknya demi menaati perintah Tuhanya, dan seorang anak yang rela disembelih demi ketaatan kepada Allah. Dasarnya adalah taqwa kepada Allah. Dan inilah yang dimaksudkan sebagai dimensi spiritual.

Dari sisi dan dimensi sosial, qurban adalah bentuk nyata solidaritas. Qurban memungkinkan tetangga-tetangga kita, dan kaum muslimin muslimat yang rentan secara ekonomi dimanapun berada, yang jarang makan daging, bisa merasakan nikmatnya protein hewani dengan adanya qurban kita. Bahkan, bagi sebagian mereka, Idul Adha adalah satu-satunya kesempatan dalam setahun menikmati lauk daging.

Baca juga: Sertifikasi Pembimbing Haji, Saatnya Regulasi Lebih Inklusif dan Berkeadilan

Bukan Sekadar Menyembelih Hewan, tapi menyembelih ego

Dalam praktiknya, yang lebih berat dari menyembelih hewan qurban adalah menyembelih ego: ego yang merasa semua harta adalah milik pribadi, rasa enggan berbagi, dan keinginan pamer saat berqurban. Inilah makna qurban yang lebih dalam. Karena hakikatnya, qurban bukan tentang darah dan daging, tapi tentang menundukkan diri di hadapan Tuhan.

Rasulullah juga mengingatkan dengan tegas: "Barang siapa yang memiliki kelapangan (rezeki) dan tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat salat kami." (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Hadis ini menunjukkan betapa pentingnya ibadah qurban bagi yang mampu, dan menjadi isyarat bahwa qurban adalah kewajiban sosial sekaligus ibadah pribadi.

Mari Persiapkan dengan Ruh dan Niat yang Tulus

Baca juga: Kampus di Era AI, Seperti Apa 10 Tahun Mendatang

Menjelang hari-hari besar Idul Adha, marilah kita memurnikan kembali niat qurban kita. Jika belum mampu menyembelih sendiri, bisa patungan. Jika belum siap materi, mulai dengan semangat dan niat. Sebab semua kebaikan dinilai dari niat.

Yang lebih penting dari daging dan pamer dokumentasi adalah: apakah qurban ini membuat kita lebih dekat kepada Allah, dan lebih peduli kepada sesama?

Semoga tahun ini, qurban kita benar-benar menjadi bentuk ketakwaan, bukan sekadar tradisi tahunan.

 

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru