Kiamat Kecil di Bantaeng, Dampak Mematikan Hilirisasi Nikel Terungkap Lewat Lensa Iqbal Lubis

Reporter : Ali Masduki
Iqbal Lubis, peraih penghargaan tertinggi Photo of The Year dalam ajang APFI 2025, foto dengan karyanya yang berjudul "Kiamat Telah Tiba", di Solo, Jawa Tengah pada tanggal 25 April 2025. Foto/Dokumentasi PFI

SOLO – Iqbal Lubis, pewarta foto lepas berbasis di Makassar, berhasil meraih penghargaan tertinggi Photo of The Year dalam ajang Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) 2025. Karya fotonya yang berjudul "Kiamat Telah Tiba" mengangkat isu serius dampak buruk hilirisasi nikel di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.

Ajang APFI 2025 yang digelar di Solo ini merupakan penghargaan bergengsi bagi para fotografer jurnalistik Indonesia. Melalui karyanya, Iqbal membawa perhatian publik pada kondisi memprihatinkan masyarakat desa terdampak industri pengolahan nikel.

Baca juga: Ketua Dewan Pers: Buzzer, Youtuber, dan Influencer Tidak Bisa Gantikan Peran Pers Profesional

"Kiamat Kecil" di Kampung Tanpa Sumber Daya Nikel

Dalam wawancara eksklusif, Iqbal menjelaskan motivasinya mengangkat isu ini. “Kami melihat hilirisasi nikel selalu dipandang dari sisi kehancuran alam. Memang perlu mempertimbangkan aspek alam dan pekerja, namun tidak pernah ada yang melirik bagaimana kondisi suatu kampung tanpa sumber daya nikel justru bisa dirusak oleh hilirisasi itu sendiri,” ujarnya.

Kabupaten Bantaeng memang tidak memiliki tanah kaya unsur nikel atau ores secara langsung. Namun daerah ini menjadi lokasi industri besar dengan tujuh perusahaan pengelola nikel dan tiga smelter aktif sejak tahun 2019.

Dulunya wilayah tersebut dikenal subur dengan pendapatan masyarakat berasal dari batu bata merah (batu merah), rumput laut, dan pertanian tradisional. Kini kampung-kampung seperti Borong Loe, Mawang dan Balla Tinngia berubah drastis akibat polusi debu merah bekas timbunan ores tambang atau yang biasa disebut timbunan bijih.

Iqbal menggambarkan suasana desa. Semua rumah tampak tertutup rapat dengan atap seng warna merah menyala karena debu tanah merah menutupi lingkungan mereka.

"Bahkan saat memasuki rumah warga seperti Pak Deng Sanda, yang letaknya berdampingan langsung dengan pabrik smelter, tanah merah sudah memenuhi ruangan hingga mereka harus membungkus makanan agar tak terkena debu," terangnya.

Kerusakan Lingkungan dan Krisis Kesehatan Masyarakat

Debu hasil pengolahan nikel masuk ke lingkungan tanpa adanya standarisasi atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang memadai untuk melindungi warga sekitar. Akibatnya banyak lahan pertanian rusak parah karena pencemaran logam berat limbah tambang sehingga gagal panen selama bertahun-tahun terakhir.

“Sekitar empat sampai lima hektar sawah rusak parah sejak pabrik mulai beroperasi pada tahun 2019,” kata Iqbal menambahkan bahwa sebagian besar penduduk terpaksa meninggalkan kampung mencari lahan baru sementara sisanya bertahan meski hasil panen minim sekali.

Baca juga: Ketua Dewan Pers: Buzzer, Youtuber, dan Influencer Tidak Bisa Gantikan Peran Pers Profesional

Selain kerusakan lingkungan fisik, masyarakat juga menghadapi masalah kesehatan serius berupa penyakit pernapasan kronis akibat paparan gas CO2 dan SO2 dari emisi pabrik smelter tersebut.

Gas CO2 (karbondioksida) dan SO2 (sulfur dioksida) adalah gas yang penting dalam berbagai konteks, termasuk perubahan iklim, kualitas udara, dan kesehatan. CO2 adalah gas rumah kaca yang utama dan berperan dalam efek rumah kaca, sedangkan SO2 adalah polutan udara yang dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan dan lingkungan. 

Warga bahkan harus menutup rapat pintu jendela rumah menggunakan terpal untuk sedikit mengurangi masuknya polusi udara meskipun tetap sulit terhindar sepenuhnya.

Minimnya Dukungan Media dan Pengawasan Pemerintah

Menurut Iqbal Lubis, media massa selama ini cenderung memberitakan sisi positif industri hilirisasi sehingga kurang memberikan sorotan terhadap dampak negatif bagi masyarakat lokal.

“Ada satu LSM bernama Balang Institute yang melakukan advokasi terkait masalah ini namun sayangnya kurang mendapat dukungan media,” ungkapnya.

Padahal proyek kawasan industri Bantaeng telah ditetapkan sebagai proyek strategis nasional sejak tahun 2020 namun belum ada pengawasan efektif terhadap pelaksanaan standar lingkungan maupun perlindungan kesehatan warga terdampak.

Baca juga: APFI 2025 Digelar di Solo, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu: Jurnalistik Foto Tidak Akan Pernah Mati

Iqbal juga menceritakan kesulitannya saat liputan. Ia bilang sempat dicurigai warga setempat dikira orang perusahaan pemberi bantuan jadi butuh waktu menjelaskan bahwa dirinya adalah wartawan demi menjaga hubungan baik. Sebab banyak wartawan sebelumnya memanfaatkan kondisi warga untuk kepentingan pribadi

Harapan Melalui Jurnalisme Visual

Foto "Kiamat Telah Tiba" bukan sekadar dokumentasi visual, tapi seruan keras agar pemerintah serta semua pihak terkait memperhatikan nasib komunitas kecil yang menjadi korban industrialisasi tanpa perlindungan memadai.

“Saya menyebut situasi ini ‘kiamat kecil’ bagi ketiga kampung tadi dimana anak-anak sekolah harus berjalan kaki melewati kawasan industri setiap hari tanpa masker apapun padahal edukasi kesehatan maupun perhatian pemerintah masih minim sekali,” tutup Iqbal.

Ia berharap agar karya foto jurnalistik dapat membuka mata publik akan realitas pahit tersebut sekaligus mendorong perubahan nyata demi masa depan lebih baik bagi masyarakat Bantaeng.

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru