Lebih dari 20 Tahun, 3 Perempuan Petani Perjuangkan Hak Tanah: Kisah Keteguhan dan Harapan

Reporter : Ali Masduki
Luh Sumantri bersama produk yang dijual di Koperasi Perempuan Tim Kerja Eks Timtim, Serikat Tani Buleleng. Foto: Ayojatim/KPA

SURABAYA - Pembangunan yang pesat di Indonesia, khususnya di sektor infrastruktur dan perumahan, seringkali mengabaikan hak-hak masyarakat di level akar rumput. Hal ini mengakibatkan konflik agraria yang merugikan, terutama bagi petani, masyarakat adat, nelayan, dan kelompok marjinal.

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam forum Asia Land Forum (ALF) Februari lalu, menyatakan, Jika pembangunan tidak menjalankan prinsip keadilan dan kemanusiaan, banyak pihak akan mengalami krisis.

Baca juga: Program MAKMUR Pupuk Indonesia Sentuh 128 Ribu Petani di Kuartal I 2025

"Petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, dan kelompok marjinal, yang selama ini terdiskriminasi dalam sistem agraria Indonesia, membutuhkan perlindungan dan pemulihan hak-hak mereka," kata dia.

ALF sendiri merupakan program tahunan yang bertujuan meningkatkan kesadaran tentang hak atas tanah dan mendorong kolaborasi yang efektif antara pemerintah dan masyarakat.

“Kita berharap ALF menjadi wadah untuk membahas cara mengatur ulang sistem agraria, pertanahan, dan pengelolaan sumber daya alam di Asia, termasuk Indonesia. Dengan begitu, tantangan pertumbuhan ekonomi di Asia bisa diatasi bersama-sama,” tambah Kartika.

Di tengah realitas konflik agraria yang masih tinggi, tiga perempuan petani di Indonesia memperlihatkan keteguhan dalam memperjuangkan hak atas tanah mereka selama lebih dari dua dekade. Kisah perjuangan mereka menjadi inspirasi bagi masyarakat yang menghadapi permasalahan serupa.

Tiomerli Sitinjak: Berdiri Tegas Melawan Perampasan Tanah

Tiomerli, warga Pematangsiantar, Sumatera Utara, lahir dan tumbuh di tengah keluarga petani. Baginya, bertani adalah sumber kebahagiaan dan harapan. Namun, kehidupannya terancam ketika tanah yang digarapnya selama lebih dari 20 tahun terancam diambil alih untuk perkebunan.

“Lebih dari 700 orang datang dengan 16 unit ekskavator untuk menghancurkan tanaman dan rumah kami. Tanpa takut, kami berlari mencegat dan memanjat ekskavator, mencegah mereka merusak semuanya. Tanah ini adalah kehidupan kami, hasil tani untuk menyekolahkan anak-anak kami,” ungkap Tiomerli, suaranya bergetar menahan tangis.

Tiomerli menceritakan, tanah yang kini digarapnya dulunya merupakan tanah milik orang tuanya yang diambil untuk perkebunan pada tahun 1969. Pada tahun 2004, HGU perkebunan tersebut habis masa berlakunya.

Masyarakat pun mengklaim kembali tanah tersebut untuk tempat tinggal dan pertanian. Namun, pada tahun 2022, perusahaan perkebunan kembali mendapatkan HGU dan melakukan perusakan tanpa melibatkan masyarakat.

“Kami hidup dalam ketakutan. Malam hari, tanaman kami bisa dirusak. Kami hanya petani, tapi tak bisa bertani lagi. Kami bekerja serabutan, apa saja yang ada, termasuk bongkar muat dan menenun,” ujar Tiomerli.

Tiomerli, sebagai Ketua Sepasi (Serikat Petani Sejahtera Indonesia), terus berjuang bersama teman-temannya. “Kami memohon kepada negara untuk mengakui hak kami atas tanah yang telah kami tempati selama lebih dari 20 tahun. Kami tidak ingin dimiskinkan,” tegasnya.

Wati: Perjuangan Tanpa Lelah untuk Hak Tanah Perempuan

Baca juga: Arah Kebijakan, Strategi Pertumbuhan Ekonomi, dan Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Malang

Di Desa Banjaranyar, Ciamis, Jawa Barat, Wati dan warga lainnya menggantungkan hidup pada pertanian. Namun, tidak semua warga memiliki hak atas tanah yang digarapnya. Wati sendiri telah berjuang selama 24 tahun untuk mendapatkan hak atas tanahnya.

“Perjuangan ini tidak bisa sebentar, tidak seperti membalikkan telapak tangan. Jika berhenti, tanah akan disergap oleh ‘musuh’,” ungkap Wati dengan semangat.

Wati belajar banyak tentang hak perempuan atas tanah melalui berbagai organisasi dan pendampingan dari KPA. Ia juga berani menghadapi aparat yang mencari suaminya, seorang aktivis hak tanah.

“Saya lebih takut jika mereka menemukan suami saya, dia bisa dipenjara dengan tuduhan penjarahan tanah,” katanya.

Wati menginspirasi perempuan di kampungnya untuk ikut berjuang. Ia mengumpulkan mereka dalam kegiatan pengajian dan memberikan pemahaman tentang hak tanah bagi perempuan.

“Perjuangan ini bukan hanya untuk laki-laki, perempuan harus terlibat,” tegasnya.

Wati berjuang bersama dalam wadah SPP (Serikat Petani Pasundan), yang sejak awal memberikan hak dan tanggung jawab yang sama bagi perempuan dan laki-laki.

Baca juga: Membangun Jawa Timur Lebih Inklusif dan Sejahtera Untuk Rakyatnya

“Ketika reclaiming tanah, nama suami dan istri tertera bersamaan. Ada juga ibu-ibu yang mendaftar dengan namanya sendiri, karena suaminya takut didatangi polisi,” jelas Wati.

 “Jangan takut akan kebenaran. Walaupun perjuangannya tidak mudah, hasilnya indah," tutur Wati.

Luh Sumantri: Menanti Keadilan di Tanah Kelahiran

Luh Sumantri, eks transmigran Timor Timur, kembali ke Bali dan tinggal di Desa Sumberklampok, Buleleng, selama 21 tahun. Ia dan teman-temannya mengajukan permohonan hak atas tanah, namun hingga kini belum dikabulkan.

“Di Timor Timur, proses kepemilikan tanah mudah. Namun, di Bali, kami sudah memohon sangat lama, tapi belum juga mendapatkan sertifikat. Hanya lahan pekarangan yang mendapatkan sertifikat, lahan garapan belum,” cerita Sumantri.

Sumantri dan teman-temannya melakukan pemetaan partisipatif dan unjuk rasa damai untuk memperjuangkan hak mereka. Suaminya, I Nengah Kisid, bahkan pernah menempati gedung DPR Provinsi untuk meminta keadilan.

“Kami berharap, pemerintah sekarang bisa berpihak pada rakyat dan berkomitmen untuk menyelesaikan kasus eks transmigran Timor Timur,” harap Sumantri.

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru