SURABAYA - Setiap 22 Desember, bangsa Indonesia memperingati Hari Ibu, bukan sekadar seremoni, melainkan panggilan untuk merefleksikan peran perempuan sebagai pilar keluarga dan bangsa.
Menjelang Hari Ibu 2025, kita diingatkan pada satu kisah inspiratif sederhana namun menohok dari Imam Abu Hanifah, yang merupakan salah satu ulama besar Islam yang keilmuannya diakui lintas generasi hingga saat ini.
Imam Abu Hanifah hidup di masa kekuasaan Bani Umayyah dan sebagian masa Bani Abbasiyah, menghabiskan sekitar 18 tahun di bawah pemerintahan Abbasiyah, wafat pada masa Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur, tahun 150 H/767 M.
Alkisah, suatu hari, ibunya datang dengan sebuah pertanyaan hukum padanya. Abu Hanifah menjawabnya dengan yakin, bersandar pada keluasan ilmunya. Namun, ternyata sang ibu menolak.
“Aku tidak akan mengambil pendapat kecuali dari Zur’ah al-Qash,” katanya.
Sednagkan sosok Zur’ah al-Qash yang dimaksud hanya dikenal sebagai pendongeng di masjid zaman itu, dan bukanlah sosok atau tokoh ahli fikih.
Abu Hanifah bisa saja menjelaskan kedudukannya, bisa saja meluruskan persepsi ibunya. Tapi ia tidak memilih jalan itu.Tanpa debat, tanpa suara meninggi, ia justru berdiri, lalu mengantar ibunya ke majelis Zur’ah.
Sesampainya ditempat Zur'ah imam Abu Hanifah menjelaskan pertanyaan ibunya kepada Zur'ah.
“Wahai Zur’ah, ini ibuku. Ia punya pertanyaan tentang perkara ini dan ingin mendengar jawaban darimu,” ucapnya sopan.
Sontak, Zur’ah pun terkejut. Karena yang menyatakan kalimat tersebut adalah Imam Hanafi, sosok yang dikenal memang dikenal sebagai orang yang alim.
“Wahai Abu Hanifah, engkau jauh lebih berilmu dariku. Dalam urusan fikih, engkaulah ahlinya.”
Namun Abu Hanifah tetap merendah, “Aku telah menjelaskan perkara ini, namun ibuku ingin mendengarnya darimu.”
Zur’ah pun menjawab sang ibu, “Pendapatku sama dengan apa yang disampaikan oleh Abu Hanifah.”
Saat itulah hati sang ibu menjadi tenang. Ia pulang dengan dada lapang, bukan hanya karena menemukan jawaban, tetapi karena merasa dihormati.
Imam Syafi’i pernah berkata, “Dalam urusan fikih, manusia seluruhnya membutuhkan Abu Hanifah.”
Tetapi semua pujian itu tidak mengubah satu hal: di hadapan ibunya, ia tetap seorang anak.
Dari kisah singkat ini, kita belajar bahwa, seberapa dan setinggi apa pun ilmu yang dimiliki, tidak boleh mengalahkan adab. Kebenaran tidak perlu dibela dengan gengsi, apalagi di hadapan orang tua.
Menjelang Hari Ibu 2025, mungkin hadiah terbaik bukan sekadar bunga atau ucapan manis, tetapi kesediaan kita merendahkan ego, melembutkan suara, dan menempatkan ibu di tempat yang paling mulia di hati kita.
Editor : Amal Jaelani