ayojatim.com skyscraper
ayojatim.com skyscraper

Festival Tutup Sasi Teluk Un Taar: Harmoni Pelestarian Budaya Kei dan Laut Tual

avatar AM Lukman J
  • URL berhasil dicopy
Prosesi rangkaian adat saat Festival Tutup Sasi Teluk Un, Kota Tual, Maluku Tenggara. Foto: Humas Kota Tual/Ayojatim
Prosesi rangkaian adat saat Festival Tutup Sasi Teluk Un, Kota Tual, Maluku Tenggara. Foto: Humas Kota Tual/Ayojatim

KOTA TUAL – Tradisi Tutup Sasi di Teluk Un, Desa Taar, Kecamatan Pulau Dullah Selatan, kembali digelar dalam sebuah festival pada Sabtu, 13 Desember 2025.

Kegiatan bertajuk Festival Tutup Sasi Teluk Un ini menjadi ajang kolaborasi antara Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Maluku, Pemerintah Kota Tual, dan Pemerintah Desa Taar.

Festival ini tidak hanya menegaskan identitas budaya masyarakat Kei, tetapi juga menguatkan komitmen bersama untuk menjaga kelestarian alam Teluk Un sekaligus mempromosikan potensi wisata budaya dan bahari Kota Tual.

Kepala Desa Taar menjelaskan, ada tiga tujuan utama dari pelaksanaan Festival Tutup Sasi Teluk Un tahun ini.

“Pertama, kami ingin melestarikan budaya lokal sebagai warisan leluhur yang menjadi identitas sosial masyarakat Kei,” ujarnya.

Menurutnya, praktik sasi atau hawear bukan sekadar ritual adat, tetapi sistem nilai yang mengatur hubungan manusia dengan alam dan sesama.

“Tujuan kedua adalah menjamin dan menjaga kelestarian alam di Teluk Un Taar demi keberlangsungan hidup manusia maupun ekosistem lingkungan,” tambahnya.

Melalui sasi, wilayah perairan tertentu ditutup sementara dari aktivitas penangkapan agar biota laut dapat berkembang kembali.Sementara itu, tujuan ketiga adalah menjadikan festival ini sebagai ajang promosi wisata.

“Kami berharap kegiatan ini menjadi pintu masuk pengembangan wisata budaya dan wisata alam di Kota Tual. Tradisi sasi punya daya tarik kuat bagi wisatawan yang ingin merasakan pengalaman budaya khas Kei,” katanya.

Dukungan Pemerintah dan Balai Pelestarian Kebudayaan

Festival Tutup Sasi Teluk Un resmi dibuka oleh Wakil Wali Kota Tual, H. Amir Rumra, S.Pi., M.Si. Acara pembukaan dihadiri unsur Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kota Tual, perwakilan Balai Pelestarian Kebudayaan Maluku, Santi Nurlete, para pimpinan OPD lingkup Pemerintah Kota Tual, perwakilan instansi vertikal, tokoh agama, tokoh adat, dan berbagai unsur masyarakat lainnya.

Dalam sambutannya, Wakil Wali Kota menegaskan komitmen pemerintah daerah untuk merawat tradisi lokal sebagai fondasi pembangunan berkelanjutan.

“Festival Tutup Sasi Teluk Un ini bukan hanya seremoni adat, tetapi wujud nyata kolaborasi antara negara dan masyarakat adat dalam menjaga budaya dan lingkungan,” ujar Amir Rumra.

Pemerintah Kota Tual akan terus memberikan dukungan agar tradisi seperti sasi tetap hidup dan relevan di tengah perkembangan zaman.

Ia juga menilai, integrasi nilai adat dan kebijakan pembangunan menjadi kunci pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkesinambungan.

“Kearifan lokal seperti sasi telah terbukti mampu mengatur pemanfaatan laut dengan bijak jauh sebelum lahirnya regulasi modern. Tugas kita sekarang adalah menguatkannya dalam kerangka kebijakan daerah,” tambahnya.

Perwakilan Balai Pelestarian Kebudayaan Maluku, Santi Nurlete, menyebut Festival Tutup Sasi Teluk Un sebagai contoh praktik baik pelestarian budaya yang selaras dengan agenda pelindungan warisan budaya nasional.

“Balai Pelestarian Kebudayaan melihat sasi di Teluk Un Taar sebagai bagian penting dari warisan budaya takbenda di Maluku,” katanya. 

Kolaborasi seperti ini menjadi model sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan komunitas adat dalam menjaga pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan pengelolaan alam.

Ritual Adat: Dari Rumah Raja Taar ke Tengah Laut

Rangkaian acara diawali dengan ritual adat di rumah Kepala Desa Taar sebagai pemangku adat lokal. Dalam ritual ini, para tetua adat memimpin doa dan prosesi tradisional untuk menandai pemberlakuan sasi di Teluk Un.

Usai ritual, tanda larangan adat atau sasi yang dikenal sebagai hawear diarak menuju laut menggunakan sped boat. Hawear kemudian dipasang dan dipandang di tengah laut sebagai simbol penutupan sementara kawasan perairan Teluk Un dari segala bentuk pengambilan hasil laut.

Salah seorang tokoh adat Taar menjelaskan, pemasangan hawear di laut bermakna penegasan batas adat yang wajib dihormati seluruh masyarakat.

“Ketika hawear sudah berdiri di Teluk Un, itu artinya ada komitmen bersama untuk tidak mengambil hasil laut di kawasan tersebut sampai masa sasi dibuka kembali,” jelasnya.

“Inilah cara leluhur kami mengajarkan disiplin, solidaritas, dan rasa hormat kepada alam.”

Meriah dengan Lomba Dayung Belang

Setelah prosesi adat dan acara seremonial, festival semakin semarak dengan pertandingan lomba dayung belang yang melibatkan empat desa, yakni Desa Taar, Desa Tual, Desa Temedan, dan Desa Ohoitel.

Perahu belang yang menjadi ikon maritim masyarakat Maluku tampak berlomba dengan penuh sportivitas di perairan Teluk Un. Sorak-sorai warga di pesisir memeriahkan jalannya perlombaan.

Menurut panitia, lomba dayung belang sengaja digelar untuk menghidupkan kembali tradisi bahari dan menguatkan persaudaraan antarwarga. Dan bagi masyarakat disana, Dayung belang bukan sekadar lomba, tapi ruang mempertemukan generasi muda dengan warisan maritim nenek moyang mereka.

Mereka juga berharap, ke depan festival ini bisa dikemas lebih luas sebagai agenda tahunan pariwisata Kota Tual.

Dengan dukungan semua pihak, Festival Tutup Sasi Teluk Un bisa menjadi kalender tetap yang menarik wisatawan, sekaligus menguatkan ekonomi masyarakat pesisir tanpa mengorbankan kelestarian alam.

Editor :