Oleh KH Imam Jazuli Lc., M
KONFLIK internal di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah mencapai titik krusial dengan adanya seruan moral untuk islah dari Forum Sesepuh NU di Pondok Pesantren Al Falah Ploso, Kediri, pada 29 November 2025.
Seruan tersebut mencerminkan marwah dan kearifan para kiai sepuh, yang berupaya menjembatani ketegangan pasca-keputusan Syuriyah PBNU yang bersifat final dan mengikat, sekaligus menawarkan solusi konkret agar organisasi kembali utuh secara konstitusional.
Seruan islah dari sesepuh NU memang memiliki kekuatan moral yang besar dalam tradisi Nahdliyin, dimana nasihat kiai sepuh adalah suluh dan panduan utama dalam menjaga harmoni.
Ini adalah panggilan untuk kembali ke khittah NU, menekankan pentingnya persatuan dan menghindari perpecahan terbuka di media.
Sekali lagi, pesan tersebut bersifat etis, mengingatkan para pihak yang bertikai akan pentingnya persatuan, menghindari perpecahan umat, dan mengedepankan kemaslahatan bersama di atas ego sektoral.
Tujuannya adalah agar salah satu atau kedua belah pihak dapat bersikap legowo (berjiwa besar), mengorbankan kepentingan pribadi demi keutuhan jam'iyah.
Namun, islah moral ini berada pada ranah ukhuwah (persaudaraan) dan etika, bukan ranah tanzhim (organisasi) atau hukum formal.
Jika islah hanya berhenti pada pertemuan informal tanpa tindak lanjut struktural, ia berisiko dianggap sebagai intervensi emosional yang mengabaikan prosedur yang telah disepakati bersama.
Di sisi lain, keputusan Syuriyah, khususnya terkait masalah keagamaan dan kebijakan strategis organisasi, memiliki supremasi otoritas yang diperkuat oleh AD/ART.
Peraturan Perkumpulan NU bahkan menegaskan bahwa keputusan keagamaan di berbagai tingkatan pada dasarnya adalah keputusan Syuriyah.
Dalam struktur organisasi, Syuriyah adalah badan tertinggi yang berfungsi sebagai legislatif dan yudikatif spiritual.
Keputusan yang diambil melalui mekanisme rapat yang sah memiliki legalitas formal dan mengikat seluruh jajaran pengurus dan anggota.
Mengabaikan keputusan Syuriyah berarti merusak tatanan konstitusi organisasi, yang pada gilirannya dapat menciptakan preseden buruk dan kekacauan manajemen.
Argumen ini menekankan pentingnya kepatuhan struktural untuk menjaga soliditas dan kepastian hukum dalam berorganisasi.
Islah Konstitusional Melalui Muktamar
Ketegangan antara seruan moral dan keputusan formal dapat disintesiskan melalui jalur konstitusional.
Islah tidak boleh menganulir keputusan Syuriyah secara sepihak, tetapi harus menginternalisasi nilai-nilai perdamaian tersebut ke dalam proses formal.
Maka jalan keluarnya adalah dengan mengadakan Muktamar Percepatan atau Muktamar Luar Biasa (MLB).
Mekanisme ini diatur dalam AD/ART organisasi dan berfungsi sebagai forum tertinggi untuk menyelesaikan persoalan fundamental yang tidak dapat diselesaikan di tingkat pengurus harian atau pleno.
MLB memungkinkan kedua belah pihak untuk mengakomodasi kepentingan masing-masing pihak dalam forum yang sah dan diakui, sekaligus mengevaluasi keputusan Syuriyah sebelumnya secara kolektif kolegial oleh perwakilan wilayah dan cabang.
Serta menghasilkan keputusan baru yang bersifat final, mengikat, dan memiliki legal standing yang kuat.
Dengan cara ini, seruan moral para sesepuh terpenuhi (terjadi peramaian), supremasi konstitusional terjaga (melalui forum tertinggi muktamar), dan organisasi menjadi utuh kembali secara tanzhim maupun ukhuwah.
Sekali lagi, islah adalah seruan moral yang mulia dan esensial dalam meredakan kisruh elite, tetapi ia harus berjalan beriringan dengan kepatuhan terhadap AD/ART organisasi.
Sebab solusi terbaik bukanlah memilih salah satu, melainkan mengintegrasikan keduanya melalui mekanisme formal seperti Muktamar Luar Biasa.
Ini adalah jalan kearifan yang memastikan marwah sesepuh terjaga, otoritas Syuriyah dihormati, dan keutuhan organisasi tetap kokoh. Wallahu'alam bishawab.
Editor : Diday Rosadi