Digitalisasi, Big Data Umat, dan Masa Depan Organisasi Modern

Foto: Ilustrasi/Gemini
Foto: Ilustrasi/Gemini

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

DI era ketika data mengalir lebih cepat daripada keputusan yang dibuat, organisasi yang tidak beradaptasi pelan-pelan akan menjadi artefak. Tidak ditinggalkan karena orang marah, tetapi karena ia tidak lagi efektif.

Di sinilah tantangan nyata bagi organisasi modern, termasuk ICMI: bagaimana menempatkan diri dalam ekosistem digital yang semakin cerdas dan semakin menuntut ketepatan.

Selama ini, kita sering membahas pembangunan umat, pengembangan SDM, hingga penguatan ekonomi. Tetapi ada satu hal yang sering luput dibicarakan: infrastruktur informasi umat. Padahal, siapa yang menguasai data, dialah yang menguasai arah kebijakan.

Negara sudah melangkah cepat dengan GovTech, integrasi data kependudukan, dan digitalisasi layanan publik. Tetapi umat? Masih tersebar, tercecer, dan tidak terkelola dengan baik.

ICMI dengan modal akademik dan intelektualnya seharusnya berdiri di garis depan dalam transformasi itu.

Data sebagai Modal Peradaban

Dulu, kekuatan sebuah organisasi ditentukan oleh jumlah anggota, kerapatan jaringan, serta aktivitas fisik. Kini, kekuatan itu bergeser: siapa yang memiliki peta akurat tentang umat, kelas menengah Muslim, persebaran talenta, kebutuhan ekonomi, kompetensi profesional, hingga perilaku digital generasi mudanya. Semua itu bukan isu teknologi; itu isu peradaban.

Kita tidak bisa membangun ekonomi umat tanpa tahu segmentasinya. Tidak bisa mengembangkan kaderisasi tanpa tahu peta talenta. Tidak bisa menyusun program nasional tanpa memahami pola mobilitas sosial Muslim urban.

Dengan kata lain: tanpa big data, kita hanya menebak-nebak. Sementara pemerintah bergerak ke arah evidence-based policy, organisasi masyarakat harus menuju evidence-based movement. Gerakan yang terukur, bukan intuitif. Gerakan yang presisi, bukan sekadar rutinitas.

Di Mana Posisi ICMI?

Pertanyaannya bukan “apakah ICMI perlu digitalisasi?”, tetapi “berapa cepat ICMI mau melakukannya?”. Publik hari ini hidup di ruang yang sangat real-time. Informasi menghasilkan legitimasi. Data melahirkan pengaruh. Dan pengaruh membutuhkan kontinuitas.

ICMI memiliki tiga keunggulan yang tidak dimiliki organisasi lain: Pertama; Kepadatan talenta akademik dan professional: Ini memungkinkan ICMI membangun knowledge base dan sistem data yang kredibel—bukan sekadar input kosong.

Kedua; Sebaran geografis dari pusat hingga daerah: Jaringan ini, jika terdigitalisasi, akan menjadi peta sosial terbesar dari komunitas Muslim terdidik di Indonesia.

Ketiga; Kedekatan dengan kelas menengah Muslim: Ini memberikan peluang besar untuk membangun digital engagement yang bukan hanya sosialisasi, tetapi konsolidasi.

Namun semua keunggulan itu tidak akan bekerja bila organisasi masih mengandalkan model komunikasi analog: rapat fisik, laporan manual, dan dokumentasi insidentil. Padahal, organisasi modern bekerja dengan alur data yang menyatu, sistem pelaporan otomatis, dan pengambilan keputusan berbasis dashboard digital.

Masa Depan ICMI Ada pada Intelligent Organization

Organisasi modern tidak hanya bergerak, tetapi membaca. Tidak hanya merespons, tetapi memprediksi. Tidak hanya memberikan opini, tetapi memberi insight. Inilah arah yang paling tepat bagi ICMI saat ini.

Bayangkan jika ICMI memiliki: (1). Peta Talenta Muslim Indonesia berbasis AI. (2). Database Kelas Menengah Muslim untuk memprediksi dinamika ekonomi. (3). ICMI Data Observatory, pusat riset mini untuk membaca tren bangsa. (4). Sistem Kaderisasi Digital untuk menyiapkan cendekia muda. (5). Riset cepat (rapid research) untuk memberi input kebijakan nasional. (6). Dashboard Umat yang memperlihatkan data sosial-ekonomi real-time.

Semua itu bukan utopia. Semua itu ada dalam jangkauan bila kita mendesain ulang ICMI sebagai intelligent organization—organisasi yang bukan hanya ada, tetapi relevan; bukan hanya besar, tetapi lincah; bukan hanya historis, tetapi visioner.

Di Persimpangan Pemerintahan Baru

Pemerintahan Prabowo membawa agenda besar digitalisasi negara, security of data, kecerdasan buatan, dan tata kelola modern. Negara sedang membangun pondasi. Pertanyaannya: siapa mitra intelektual yang siap menyambungkan pembangunan digital negara dengan aspirasi umat?

ICMI dapat menjadi jembatan itu—asal berani melompat dari pola lama. Bukan sekadar menanggapi isu. Tetapi menyediakan basis data untuk isu. Bukan sekadar menggelar diskusi. Tetapi merumuskan policy brief berbasis analitik. Bukan sekadar menyatakan pendapat. Tetapi memberikan arah.

Ketika negara bergerak cepat, umat tidak boleh tertinggal. Ketertinggalan ini bukan soal ekonomi dan logistik saja, tetapi ketertinggalan pengetahuan.

Menatap SILAKNAS di Bali

Milad ke-35 dan SILAKNAS di Bali tahun ini harus menjadi titik awal kemunculan ICMI dalam wajah baru—lebih modern, lebih data-driven, dan lebih terintegrasi. Bukan sekadar kegiatan pertemuan tahunan yang hanya memenuhi kewajiban AD/ART, tetapi cakrawala baru organisasi. Digitalisasi bukan sekadar kebutuhan teknis. Tapi kebutuhan eksistensial.

Jika ICMI ingin kembali menjadi lokomotif intelektual Muslim Indonesia, maka ICMI harus memimpin digitalisasi umat. Sebab masa depan organisasi tidak ditentukan oleh siapa yang tertua, tetapi siapa yang paling siap membaca masa depannya. Dan masa depan itu mau tidak mau bernama data.

Editor : Alim Perdana