Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur
KETIKA dunia memasuki lompatan kecerdasan buatan, komputasi super, bioteknologi, rekayasa genetik, dan transformasi digital total, Indonesia berhadapan dengan pertanyaan yang jauh lebih mendasar: apakah kita hanya akan menjadi pengguna, atau kita ingin menjadi bangsa yang memiliki kedaulatan pengetahuan?
Kita bisa membeli teknologi, menyewa perangkat lunak, mendatangkan ahli asing, atau mengimpor sistem digital dari luar negeri. Namun kedaulatan sebuah bangsa tidak pernah berdiri di atas barang yang dibeli, melainkan pada ilmu yang dikuasai.
Dalam konteks pemerintahan baru, Presiden Prabowo telah menegaskan bahwa masa depan Indonesia membutuhkan penguatan teknologi, riset pertahanan, kemandirian industri, dan pembangunan kapasitas inovasi nasional.
Tetapi keberanian politik saja tidak cukup jika ekosistem pengetahuannya belum solid. Di titik inilah peran cendekia, ilmuwan, peneliti, dan komunitas intelektual menjadi strategis, dan ICMI memiliki ruang aktual untuk tampil.
Mengapa kedaulatan pengetahuan penting? Karena tanpa kedaulatan pengetahuan: Kita menjadi pasar, bukan produsen. Kita menjadi objek, bukan subjek peradaban. Kita mengikuti arah dunia, bukan menentukan arah bangsa.
AI adalah contoh paling jelas. Aplikasi kecerdasan buatan kini digunakan dalam pendidikan, perbankan, kesehatan, keamanan, hingga manajemen data penduduk.
Tetapi algoritmanya tidak kita kuasai, basis datanya tidak kita miliki, servernya tidak kita kontrol, dan etika pemanfaatannya belum kita rumuskan. Dengan kata lain, kita sedang berlari kencang di jalan yang dibangun orang lain.
Di sinilah ICMI penting bukan karena nostalgia sejarah, tetapi karena kapasitas epistemiknya. ICMI adalah organisasi yang sejak awal membawa misi peradaban: mempertemukan iman, ilmu, dan kemajuan.
Dengan jaringan akademisi, teknolog, pakar AI, peneliti, dan ilmuwan Muslim, ICMI dapat menjadi salah satu garda intelektual untuk memastikan bahwa teknologi tidak menjajah kesadaran bangsa, tetapi menjadi alat kemaslahatan.
Ada empat agenda strategis yang bisa dikerjakan ICMI: Pertama; Literasi AI dan etika teknologi untuk publik. Masyarakat perlu memahami bukan hanya cara menggunakan AI, tetapi dampaknya terhadap privasi, identitas digital, ruang berpikir, dan bahkan kedaulatan spiritual manusia. ICMI dapat menjadi suara moral–intelektual untuk memastikan teknologi tidak menghilangkan martabat manusia.
Kedua; Riset dan pengembangan pengetahuan berbasis Indonesia. Kita membutuhkan data lokal, algoritma lokal, dan sistem digital yang dibangun dari konteks budaya bangsa. ICMI dapat menginisiasi konsorsium riset dengan kampus, pesantren modern, laboratorium teknologi, dan pemerintah.
Ketiga; Kemandirian teknologi dalam agenda pembangunan nasional. Pemerintahan baru membutuhkan mitra pemikiran untuk menghubungkan teknologi dengan ketahanan pangan, energi, industri, pertahanan, dan pelayanan publik. ICMI dapat menjadi policy knowledge hub.
Keempat; Pembibitan talenta ilmiah dan teknolog Muslim. Generasi muda Muslim harus merasa bahwa sains dan teknologi adalah bagian dari identitas keagamaannya—bukan sesuatu yang terpisah. Inilah fondasi kedaulatan jangka panjang.
Kedaulatan pengetahuan adalah kelanjutan dari warisan peradaban Islam. Sejarah membuktikan: Al-Khawarizmi membangun dasar algoritma, Ibn al-Haytham merumuskan optika, Ibnu Sina menulis ensiklopedi kedokteran, Ulama Nusantara menghasilkan ilmu navigasi, astronomi, dan sosial.
Dengan kata lain, sains bukan barang impor. Ia adalah bagian dari napas peradaban Muslim. ICMI dapat mengembalikan kesadaran ini, agar umat tidak hanya menjadi konsumen teknologi Barat atau Timur, tetapi kembali menjadi produsen ilmu.
Dalam konteks nasional hari ini, Indonesia membutuhkan: ilmuwan yang tidak anti-agama, ulama yang tidak anti-sains, teknokrat yang berakhlak, intelektual yang membumi, inovator yang berorientasi kemaslahatan. Dan pilar itu dapat bertemu dalam satu rumah bernama ICMI.
Pemerintahan baru membutuhkan mitra kritis–konstruktif Kritis, agar: data nasional tidak dikuasai asing, kebijakan teknologi tidak serampangan, digitalisasi tidak menghilangkan nilai manusia.
Konstruktif, agar: riset berjalan, inovasi tumbuh, talenta nasional tidak hijrah. ICMI dapat berdiri di dua kaki: kaki ilmu dan kaki kebangsaan. Maka kedaulatan pengetahuan bukan slogan, tetapi agenda strategis.
Kesimpulannya sederhana: Bangsa yang tidak menguasai pengetahuan akan diperintah oleh bangsa yang menguasainya. Bangsa yang hanya menggunakan teknologi akan bergantung. Bangsa yang membangun teknologi sendiri akan merdeka.
Kini pertanyaannya bukan apakah teknologi akan datang, tetapi apakah kita siap menjadi tuannya bukan hambanya. Dan di sinilah ICMI harus mengambil peran sejarahnya.
Editor : Alim Perdana