Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
“Kritik boleh, tapi jangan melecehkan. Pesantren dan para kiai adalah benteng moral negeri ini. Mari mengingat kembali, dari pesantrenlah lahir perjuangan, ilmu, dan akhlak bangsa. Saat pesantren bangkit, Indonesia ikut tegak bermartabat.”
Kadang, sebuah guncangan justru menjadi tanda kebangkitan. Peristiwa yang mengguncang dunia pesantren lewat tayangan Trans7 beberapa waktu lalu memang menyakitkan. Namun, di balik itu, sebenarnya ia juga bisa dimaknai menjadi cambuk dari langit, sebagai tanda agar pesantren tidak terlalu lama tertidur dalam kenyamanannya.
Reaksi besar dari para kiai, santri, dan masyarakat terhadap tayangan Trans7 menunjukkan satu hal: bahwa dunia pesantren masih hidup. Ia bukan sekadar simbol masa lalu, tetapi kekuatan moral dan kultural yang nyata dalam kehidupan bangsa.
Dari pesantren lahir para ulama, pejuang kemerdekaan, dan generasi berakhlak yang menanamkan nilai keikhlasan serta cinta tanah air.
Menjelang Hari Santri Nasional 22 Oktober nanti, peristiwa ini seharusnya menjadi refleksi: sudahkah pesantren tampil dengan wajah terbaiknya di ruang publik? Sudahkah pesantren menjadi subjek narasi kebangsaan, bukan hanya objek pemberitaan?
Kita hidup di era ketika persepsi bisa dibentuk dalam hitungan detik. Karena itu, pesantren perlu menyesuaikan diri, tanpa kehilangan jati diri. Pesantren harus hadir di ruang digital bukan untuk mengejar sensasi, tetapi justru untuk menebar adab, ilmu, dan kesejukan.
Ini penting dan harus kita ingat. Sejak awal berdirinya, pesantren tak pernah pasif. Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dikumandangkan KH Hasyim Asy’ari adalah bukti nyata pesantren berada di garda depan perjuangan. Kini, jihad itu harus bergeser makna: melawan kebodohan, kemiskinan, dan disinformasi.
Sebagai Ketua ICMI Jawa Timur, saya percaya kolaborasi antara pesantren dan cendekiawan bisa menjadi kunci kebangkitan baru. Santri memiliki kekuatan moral dan spiritual, sedangkan cendekiawan memiliki kekuatan intelektual dan analitis. Jika keduanya berpadu, lahirlah energi besar untuk membangun Indonesia yang beradab dan rahmatan lil alamin.
Pada kesempatan ini, saya juga ingin berpesan kepada media dan siapa pun yang tertarik pada dunia pesantren: berhati-hatilah dalam membuat framing. Jangan jadikan pesantren atau kiai sebagai bahan olok-olok demi rating dan sensasi.
Pesantren bukan hanya lembaga Pendidikan. Pesantren adalah benteng moral bangsa. Gerakan perjuangan melawan penjajah hingga melahirkan kemerdekaan adalah bukti peran besar pesantren yang tak boleh dilupakan.
Bila memang ada kritik, sampaikanlah dengan adab dan kebijaksanaan, bilhikmati wal mau‘idhotil hasanah, sebagaimana diajarkan Islam. Tapi jika tidak mampu melakukanya, maka jangan pernah berani menjamah dan mengusik dunia pesantren jika tidak ingin muncul kegaduhan.
Memang seharusnya kita semua bertindak bijak. Kasus tayangan Trans7 ini seharusnya dibaca sebagai panggilan untuk memperkuat diri. Merefromasi diri dan bertansformasi. Pesantren perlu berbenah dalam hal komunikasi publik, literasi digital, dan penguatan kaderisasi santri agar mampu tampil di berbagai lini kehidupan: ilmuwan, ekonom, pejabat, diplomat, dan pengusaha.
Santri sejati bukan hanya yang fasih membaca kitab kuning, tetapi yang mampu menyalakan cahaya Islam di tengah masyarakat modern. Pesantren memiliki modal besar yang tak tergantikan: yaitu ketulusan dan keikhlasan. Dua hal ini menjadi kekuatan spiritual yang dunia modern sering kehilangan.
Momentum Hari Santri nanti hendaknya tak sekadar seremoni, kita jadikan sebagai momentum gerakan kebangkitan substantif: melahirkan santri digital, santri wirausaha, dan santri inovator. ICMI Jawa Timur berkomitmen bersinergi dengan pesantren untuk bersama membangun Indonesia yang berilmu, beradab, dan berkeadilan.
Jika hari ini pesantren “dibangunkan” oleh sebuah tayangan televisi Trans7, jangan kita tenggelam dalam kemarahan. Jadikan itu tanda cinta dari Allah agar kita memperbaiki diri, menata langkah, dan meneguhkan peran sebagai penjaga moral bangsa.
Editor : Alim Perdana