SURABAYA – Memperingati hari jadinya yang pertama, media siginews.com menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema "Quo Vadis Aksi Massa 2025: Demokrasi atau Anarki?" di Grand Surabaya Hotel, Kamis (11/9/2025). Acara ini menghadirkan sejumlah narasumber kompeten yang mengupas fenomena aksi massa dari berbagai sudut pandang.
Cak Rois, Pendiri sekaligus Pemimpin Redaksi siginews.com, membuka diskusi dengan berbagi pengalamannya saat meliput kerusuhan di Surabaya. Ia menyoroti perbedaan signifikan dalam pergerakan massa yang terjadi saat ini dibandingkan dengan aksi-aksi sebelumnya.
"Pergerakan massa kali ini terlihat berbeda sekali dari aksi-aksi mahasiswa atau massa aksi pada umumnya. Banyak lalu-lalang anak-anak muda berpakaian serbah hitam dengan mengendarai sepeda motor," ungkapnya, sambil menunjukkan rekaman video dari lokasi kejadian.
Edward Dewaruci, seorang pengamat cagar budaya, menggaris bawahi peran krusial media sosial dalam memengaruhi aksi demonstrasi. Ia menekankan perlunya kewaspadaan terhadap kekuatan disinformasi serta penyebaran ujaran kebencian di era digital ini.
"Peluru saat ini berupa disinformasi, penyebaran fitnah, dan kebencian," tegasnya.
Lebih lanjut, Edward menyoroti kurangnya koordinasi yang jelas dalam pergerakan massa belakangan ini.
Ia juga menyayangkan tindakan perusakan cagar budaya, yang menurutnya mencerminkan kurangnya pemahaman akan nilai sejarah.
Bung Picter, Ketua Perkumpulan Indonesia Muda Jatim, berpendapat bahwa aksi anarkis dalam demonstrasi sering kali dipicu oleh faktor ekonomi.
Ia mengakui bahwa demonstrasi adalah bagian tak terpisahkan dari demokrasi, namun anarki muncul sebagai konsekuensi dari ketidakpuasan yang terakumulasi.
"Jika ada demo, berarti demokrasi kita hidup, tapi anarkinya ini yang saya kurang sepakat," ujarnya.
Bung Picter menambahkan bahwa masyarakat seringkali merasa bahwa suara mereka hanya akan didengar jika melakukan tindakan ekstrem.
"Biasanya anarki baru didengar, kalau nggak anarki nggak didengar," imbuhnya.
Andreas Pardede, tokoh aktivis 98 Jatim, membahas gerakan sosial dan perubahan. Menurutnya, aksi massa merupakan manifestasi dari gerakan sosial yang lahir akibat ketidakadilan serta penindasan.
"Jika sudah ada solidaritas dari rakyat miskin, rezim sudah tidak bisa apa-apa," tegasnya.
Pardede juga menyoroti kondisi hukum di Indonesia yang dinilainya telah berubah menjadi instrumen politik dan alat penindas.
Sebagai penutup, Pardede menyimpulkan bahwa akar dari semua permasalahan yang terjadi saat ini adalah kegagalan rezim dalam mengelola negara.
"Saya menyimpulkan, semua problematika yang terjadi sekarang adalah kegagalan rezim pengelolaan negara Prabowo-Gibran. Itu adalah akarnya," jelas Andreas.
FGD ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih mendalam mengenai fenomena aksi massa, serta dampaknya terhadap demokrasi dan stabilitas sosial.
Editor : Alim Perdana