TNI, Kebebasan Berpendapat dan Dilema Demokrasi

avatar ayojatim.com
Pasukan TNI sebelum melakukan potroli gabungan pasca terbakarnya Gedung Negara Grahadi Jawa Timur. Foto: Ayojatim
Pasukan TNI sebelum melakukan potroli gabungan pasca terbakarnya Gedung Negara Grahadi Jawa Timur. Foto: Ayojatim

Perseteruan antara TNI dan Fery Irwandi seorang konten kreator dan merupakan pendiri Malaka Project, sebuah platform edukasi dan gerakan literasi publik di Indonesia menjadi sorotan publik setelah Fery menuding TNI sebagai dalang kerusuhan dalam aksi demonstrasi akhir Agustus 2025.

Tuduhan itu dianggap serius karena menyentuh jantung kehormatan institusi pertahanan negara. TNI pun bereaksi dengan rencana melaporkan Fery ke polisi atas dugaan pencemaran nama baik.

Namun langkah hukum tersebut kandas. Polisi menolak laporan dengan merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan bahwa lembaga, baik negara maupun profesi, tidak dapat menjadi pelapor dalam kasus pencemaran nama baik.

Pasal ini hanya berlaku untuk individu. Putusan MK lahir dari banyak kasus ketika warga dituntut hanya karena menulis surat pengaduan atau melontarkan kritik terhadap layanan publik maupun organisasi profesi.

Untuk mencegah represi terhadap kebebasan berpendapat, MK memutuskan bahwa lembaga tidak boleh menggunakan instrumen hukum pidana ini.

Di satu sisi, keputusan MK memperkuat demokrasi: warga bebas menyampaikan kritik tanpa takut dijerat pasal pencemaran nama baik oleh institusi.

Namun di sisi lain, kondisi ini membuka ruang blunder. Lembaga negara, termasuk TNI, tidak bisa lagi membela diri melalui jalur hukum bila dituding atau difitnah.

Akibatnya, tuduhan yang tidak terbukti bisa terlanjur membentuk opini publik, dan bila terjadi kerusuhan organik di masa depan, TNI berpotensi kembali dijadikan kambing hitam.

Apa yang harus dilakukan TNI?

Jalur hukum bukan lagi solusi utama. TNI perlu bertransformasi dalam strategi komunikasi publik.

Klarifikasi terbuka, kontra-narasi di media sosial, serta literasi digital harus diperkuat.

Respons cepat, transparan, dan humanis akan lebih efektif meredam tuduhan daripada sekadar laporan polisi. TNI juga bisa menggunakan jalur perdata atau mekanisme etik bila serangan diarahkan pada individu.

Kasus ini menjadi cermin dilema demokrasi: bagaimana menyeimbangkan kebebasan berpendapat dengan perlindungan kehormatan institusi negara.

Putusan MK menutup satu pintu, namun membuka tantangan baru: lembaga harus lebih lihai bertarung di arena opini publik. TNI kini dituntut membuktikan bahwa menjaga kehormatan tidak selalu dengan senjata hukum, tetapi dengan keterbukaan, kecepatan informasi, dan kedekatan dengan rakyat.

Penulis : Achmad Choiron
Pemerhati Sosial & Dosen Teknik Informatika Universitas Dr. Soetomo

Editor : Amal Jaelani