Meilanie Buitenzorgy

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

DI hari Minggu yang damai dan santai ini, ide dan pikiran saya justru tidak mau diam. Setelah olahraga ringan dan menyantap buah-buahan segar hasil tanaman lokal, secara refleks tangan ini menggapai laptop dan jemari saya menari-nari mengekspresikan pikiran yang berkecamuk.

Ada banyak hal yang memenuhi kepala saya, namun yang akhirnya keluar menjadi ide tulisan adalah nama seorang akademisi IPB University yang dalam beberapa hari terakhir berseliweran di layar laptop saya: Meilanie Buitenzorgy.

Meilanie bukan politisi, bukan selebritas, apalagi pejabat publik. Ia hanyalah dosen, seorang akademisi yang kesehariannya berkutat dengan ilmu pengetahuan dan mahasiswa. Namun tiba-tiba namanya melesat ke ruang publik karena komentarnya yang menyentuh wilayah sensitif: dunia politik.

Ia menyebut soal latar belakang pendidikan Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden terpilih, yang menurutnya tidak lulus SMA. Pernyataan ini kontan menjadi bola panas, dikritik, dibantah, bahkan dianggap menyerang pribadi.

Yang menarik bagi saya bukan benar-salah dari substansi pernyataannya, melainkan keberanian seorang akademisi biasa yang tiba-tiba menjadi sorotan nasional. Fenomena ini menyimpan refleksi penting: betapa sulitnya di negeri ini membedakan antara kritik, pendapat, dan serangan personal.

Sejarah dunia menyimpan banyak kisah orang-orang yang mengalami hal serupa. Galileo Galilei pernah dianggap sesat hanya karena menyatakan bumi mengitari matahari. Nelson Mandela dicap pemberontak ketika menentang apartheid.

Di tanah air, Munir Said Thalib menjadi simbol keberanian melawan ketidakadilan meski harus menanggung risiko hidupnya. Pola yang sama terlihat: orang-orang yang berani menyuarakan sesuatu yang tidak sesuai dengan arus utama seringkali diperlakukan tidak adil.

Meilanie tidak sedang memperjuangkan revolusi, tapi keberadaannya memberi pesan moral: akademisi punya hak menyampaikan pendapat, meski kontroversial.

Di era demokrasi, pendapat berbeda tidak semestinya dibungkam, apalagi dengan tekanan politik atau ancaman sanksi.

Tentu, kritik terbuka juga harus disampaikan dengan etika, data, dan konteks yang benar. Tapi ruang kebebasan akademik harus tetap dijaga. Kalau tidak, kampus akan kehilangan ruhnya sebagai benteng kebebasan berpikir.

Saya justru melihat keberanian Meilanie sebagai pengingat bahwa demokrasi membutuhkan orang-orang yang berani berbeda. Meski kita boleh tidak setuju dengan cara atau substansinya, kita tetap bisa mengapresiasi sikapnya yang tak takut bicara.

Sebagai penutup, izinkan saya menyampaikan satu hal personal. Saya kenal betul Rektor IPB University, Prof. Arif Satria. Beliau adalah sahabat, mentor, sekaligus ketua umum saya di organisasi cendekiawan muslim Indonesia. Saya ingin menitipkan apresiasi: selamat, IPB punya akademisi yang berani.

Dan saya ingin menitipkan harapan: jangan sampai Meilanie disanksi hanya karena tekanan pihak yang tidak suka. Cukup dengan mengatakan bahwa pendapat Meilanie adalah pendapat pribadi. Cukup.

Dari seorang akademisi, kita belajar bahwa keberanian berkata jujur tetap penting, meski resikonya besar. Pada akhirnya, sejarah sering membuktikan: suara yang berani berbeda, justru itulah yang membuat bangsa lebih dewasa.

Editor : Alim Perdana