Bonus Demografi, Rangkap Jabatan Pejabat dan Visi Indonesia Emas 2045

avatar ayojatim.com
AM Lukman. Foto: Dok-Pribadi
AM Lukman. Foto: Dok-Pribadi

Indonesia tengah memasuki fase bonus demografi, di mana jumlah penduduk usia produktif (15–64 tahun) mendominasi komposisi populasi nasional. Kondisi ini yang dipandang sebagai sebuah peluang emas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan pembangunan bangsa.

Namun, juga sekaligus menjadi sebuah fakta yang ironis, yaitu masih adanya praktik rangkap jabatan oleh pejabat publik.

Bonus demografi tanpa tata kelola pemerintahan yang baik, justru akan berpotensi bisa berubah menjadi beban dan tsunami peradaban.

Rangkap jabatan berpotensi mengurangi efektivitas kerja birokrasi. Seorang pejabat dengan dua atau lebih jabatan rawan kehilangan fokus, sementara kebutuhan masyarakat semakin kompleks. Kondisi ini bisa menghambat optimalisasi produktivitas tenaga kerja muda yang sedang meningkat.

Tentu Fenomena tersebut merupakan sebuah upaya yang kontraproduktif terhadap upaya memanfaatkan bonus demografi, karena justru mengurangi kesempatan generasi muda untuk tampil dan berkontribusi.

Bonus demografi harusnya dibarengi dengan regenerasi kepemimpinan. Jika pejabat terus merangkap jabatan, kesempatan kaderisasi dan akses anak muda untuk mengambil peran strategis menjadi tertutup.

Selain itu, praktik rangkap jabatan juga menimbulkan persepsi ketidakadilan. Ketika banyak talenta muda kesulitan mendapatkan ruang berkarier, jabatan publik justru terkonsentrasi pada segelintir orang.

Padahal, bonus demografi seharusnya menjadi momentum untuk mendorong partisipasi generasi muda dalam pemerintahan, bisnis, maupun sektor sosial.

Pemerintah sendiri telah menyatakan komitmennya memanfaatkan bonus demografi sebagai motor pembangunan menuju Indonesia Emas 2045. Komitmen tersebut perlu diwujudkan dengan kebijakan nyata, salah satunya mengurangi praktik rangkap jabatan dan memperluas akses bagi talenta muda.

Bonus demografi adalah kesempatan sekali seumur hidup. Kalau tidak dikelola dengan regenerasi kepemimpinan, kita bisa kehilangan momentum dan justru menghadapi masalah pengangguran serta ketimpangan.

Editor : Amal Jaelani