Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
ADA kursi yang terlalu empuk untuk ditinggalkan. Kursi itu bernama DPR. Atau DPRD. Begitu sudah duduk, banyak yang lupa cara berdiri. Padahal rakyat yang diwakili tidak sedang duduk di kursi empuk.
Mereka duduk di warung kopi, sambil memutar otak bagaimana caranya harga beras bisa terbeli. Mereka duduk di ruang kelas bocor dengan seragam lusuh. Mereka duduk di rumah kontrakan, cemas menunggu kabar anaknya diterima kerja atau tidak.
Pertanyaannya: masihkah para wakil rakyat punya waktu merasakan kursi rakyat yang diwakilinya? Atau minimal memikirkannya?
Hatta dan Kursi Tanpa Rumah
Mari kita menengok sebentar ke masa lalu. Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama kita, wafat tanpa rumah pribadi. Ulangi: wakil presiden saja tidak punya rumah! Ia menjawab dengan enteng ketika ditanya mengapa tidak punya rumah: “Saya tidak punya uang.”
Jawaban beliau dengan polos tapi tegas. Itu jawaban dari hati beliau, bukan keluhan. Tetapi prinsip. Bung Hatta tidak menjadikan jabatan sebagai ATM.
Bandingkan dengan anggota dewan hari ini. Belum lama duduk, sudah ribut soal tunjangan rumah dinas. Ada yang ngotot minta perabot mewah. Ada yang sibuk urus renovasi kantor. Kursi rakyat berubah menjadi kursi interior.
Agus Salim dan Sepeda Tua
Lalu ada KH. Agus Salim. Diplomat ulung. Datang ke forum internasional dengan sepeda tua. Pakaiannya sederhana, kadang diejek oleh lawan bicara dengan sebutan “jongos diplomatik.” Tapi justru dari kesederhanaan itu, wibawa bangsa terangkat. Lawan bicara yang awalnya meremehkan, akhirnya segan.
Sekarang? Wakil rakyat kita justru sibuk soal seragam dinas. Sibuk soal protokol kehormatan. Padahal rakyat tidak butuh jas mahal. Mereka butuh telinga yang benar-benar mau mendengar.
Buya Hamka dan Keberanian Mundur
Buya Hamka, ulama besar, pernah duduk di MPR. Tetapi jabatan baginya hanyalah sarana. Saat merasa fatwa MUI diperalat oleh penguasa, beliau memilih mundur. Mundur! Sebuah kata yang seperti makhluk langka di politik hari ini.
Coba bayangkan kalau anggota dewan sekarang punya keberanian yang sama. Mungkin banyak kursi kosong. Tapi justru dari kursi-kursi kosong itulah rakyat bisa belajar: masih ada politisi yang berani memilih integritas daripada jabatan.
Mandela dan Politik Tanpa Dendam
Dari luar negeri, kita punya Nelson Mandela. Tiga dekade dipenjara rezim apartheid. Saat Keluar bebas dari penjara, ia tidak menebar dendam. Justru ia ajak bangsanya berdamai. Kebesaran jiwa itu adalah energi politik sejati.
Di sini? Kalah voting sedikit saja, langsung ngamuk. Beda pendapat sedikit, langsung lapor polisi. Politik kita masih terlalu kecil untuk menampung kebesaran jiwa semacam Mandela.
Honest Abe dan Uang Receh
Ada pula Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat. Dijuluki Honest Abe. Ia pernah berjalan jauh hanya untuk mengembalikan beberapa sen yang bukan miliknya. Beberapa sen! Coba bayangkan kalau kebiasaan itu ada di parlemen kita.
Mungkin gedung KPK bisa disulap jadi perpustakaan atau museum. Sepi perkara.
Tapi kenyataannya? Hari ini, “uang receh” bukan dikembalikan, melainkan digandakan. Rakyat pun akhirnya mengernyit: siapa yang benar-benar jujur di Senayan?
Yang Hilang: Empati
Apa yang hilang dari wakil rakyat kita? Bukan kecerdasan. Bukan gelar. Bukan kemampuan orasi. Yang hilang adalah empati.
Rakyat tidak butuh banyak pidato. Rakyat tidak lapar jargon. Rakyat hanya ingin hidup lebih layak. Ingin harga beras tidak melambung. Ingin anak-anak sekolah dengan tenang. Ingin rumah sakit menerima mereka tanpa uang muka.
Tapi aspirasi sederhana itu seringkali kalah oleh agenda rapat fraksi. Rakyat akhirnya bertanya-tanya: siapa yang sesungguhnya diwakili? Rakyat atau partai?
Kursi yang Tidak Dibawa Mati
Politik, kalau mau jujur, hanyalah jalan singkat menuju pengabdian panjang. Tapi banyak yang mengubahnya menjadi jalan pintas menuju kekayaan.
Sejarah akan mencatat. Rakyat akan menilai. Dan Allah akan menghisab. Kursi itu tidak akan dibawa mati. Tapi jejaknya akan ditulis di batu nisan sejarah.
Maka, para wakil rakyat yang terhormat, tanyakanlah pada diri Anda: apakah kelak nama Anda dikenang sebagai pejuang rakyat? Ataukah dilupakan sebagai pelayan kepentingan diri sendiri? Karena kursi rakyat bukan untuk diduduki. Kursi itu untuk melayani.
Editor : Alim Perdana