Menata Regulasi Kuota Tambahan Haji, Masukan Untuk RUU Haji & Umroh

Oleh: Ulul Albab

POLEMIK terkait pembagian kuota tambahan haji 2024 menjadi perhatian publik dan penegak hukum. Bahkan perkembangan saat ini sudah masuk ke ranah penyidikan oleh KPK.

Dari perspektif hukum administrasi publik, kasus ini justru bisa menjadi pelajaran penting untuk perbaikan regulasi haji ke depan.

Sebetunya, secara normatif, pengaturan kuota haji dan kuota tambahan sudah diatur dalam UU No. 8 Tahun 2019. Pasal 8 ayat (2) menegaskan bahwa kuota haji Indonesia ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 9 ayat (1) mengatur bahwa dalam hal terdapat penambahan kuota haji setelah penetapan awal, Menteri kembali menetapkan kuota tambahan. Pasal 9 ayat (2) bahkan secara jelas menyebutkan bahwa pengisian kuota tambahan harus diatur melalui Peraturan Menteri (PMA).

Bahkan, proporsi kuota antara haji reguler dan haji khusus juga sudah diatur. Pasal 64 ayat (2) menetapkan bahwa kuota haji khusus sebesar 8ri total kuota haji Indonesia.

Dengan demikian, secara hukum sebenarnya ruang pengaturan sudah ada. Namun, masalah yang muncul adalah soal teknis implementasinya.

Kuota tambahan biasanya diberikan oleh Arab Saudi pada saat yang sangat dekat dengan jadwal pemberangkatan.

Interval waktu yang sempit inilah yang mungkin membuat pemerintah mengambil jalan cepat dengan mengeluarkan SK Menteri, tidak menempuh jalur dengan mengeluarkan Peraturan Menteri (PMA) karena prosedur penyusunan PMA membutuhkan waktu lama, sekitar 4-7 bulan.

Dari sudut pandang hukum administrasi publik, langkah Kementerian Agama Ketika itu bisa dilihat sebagai bentuk diskresi administratif. Karena diskresi memang dibolehkan, dengan alasan karena: Ada kekosongan hukum atau situasi mendesak, dan dilakukan untuk kepentingan publik, serta Tidak bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).

Dengan kondisi kuota tambahan muncul mendekati masa keberangkatan, penggunaan SK dapat dipahami sebagai upaya pengamanan pelayanan haji, sepanjang tidak ada niat jahat atau pungutan ilegal.

Namun, dalam kasus pembagian kuota haji tahun 2024 dengan proporsi 50:50 untuk haji reguler dan haji khusus, tetap saja memunculkan kelemahan regulasi.

Mengapa? Karena UU hanya mengatur secara umum dan mewajibkan pengaturan dalam bentuk Peraturan Meneteri (PMA), tanpa memberi mekanisme alternatif jika waktu tidak memungkinkan.

Celah inilah yang harus diperbaiki oleh pemerintah dan DPR, yang saat ini memang sedang membahas RUU revisi atas UU No.8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umroh, agar tidak menimbulkan kecurigaan publik di kemudian hari.

Komparasi dengan Malaysia dan Turki

Praktik serupa sebetulnya juga terjadi di negara lain, misalnya Malaysia dan Turki. Malaysia mengatur kuota tambahan melalui keputusan Menteri di Jabatan Perdana Menteri (Urusan Agama), yang kemudian dieksekusi oleh Lembaga Tabung Haji.

Tidak selalu ada dasar hukum dalam bentuk undang-undang, melainkan cukup dengan instruksi administratif, asalkan transparan.

Turki menggunakan mekanisme serupa: tambahan kuota dikelola oleh Direktorat Urusan Agama (Diyanet leri Bakanl) melalui circular atau instruksi internal. Masyarakat menerimanya karena ada pengawasan parlemen dan audit publik.

Artinya, penggunaan instrumen administratif untuk kuota tambahan bukanlah anomali dan hanya terjadi di Indonesia saja. Yang membedakan mungkin hanyalah mekanisme akuntabilitas dan transparansi-nya.

Pesan untuk DPR dan Pemerintah

Ada beberapa pelajaran penting dari polemik kuota tambahan 2024 ini: Pertama; perlu dilakukan upaya untuk Memperkuat Pasal 9 UU No. 8/2019.

DPR dan Pemerintah perlu menambahkan norma yang lebih jelas tentang mekanisme pengisian kuota tambahan dalam kondisi darurat atau waktu terbatas.

Misalnya dengan klausul bahwa “jika interval waktu kurang dari X hari sebelum keberangkatan, Menteri dapat menetapkan melalui SK dengan tetap melaporkan kepada DPR.”

Kedua; perlu dilakukan upaya untuk Memastikan proporsi haji reguler dan haji khusus dengan klausul yang tepat. Pasal 64 UU No.8 Tahun 2019 memang mengatur bahwa porsi haji khusus adalah 8%, namun belakangan ini muncul dfart RUU yang menggantinya dengan rumusan “maksimal 8%”.

Belajar dari kasus 2024 maka akan lebih bijaksana jika rumusannya diganti menjadi “minimal 8%”. Rumusan yang terakhir ini akan dapat menghindari kegaduhan jika suatu saat ada lagi kuota tambahan yang diperoleh dalam waktu yang mendesak dan menyulitkan persiapan.

Hal ini harus ditegaskan dalam revisi UU, agar tidak menimbulkan sengketa atau tafsir berbeda di lapangan.

Ketiga; Belajar dari praktik Malaysia dan Turki. Transparansi, laporan publik, dan pengawasan parlemen adalah kunci agar keputusan administratif tentang kuota tambahan tetap dipercaya publik.

Kasus kuota tambahan haji 2024 seharusnya dibaca bukan semata-mata sebagai potensi korupsi, tetapi justru harus dilihat sebagai cermin kelemahan regulasi yang perlu segera diperbaiki.

DPR dan Pemerintah kini sedang membahas revisi UU Haji dan Umrah, dan inilah saatnya dilakukan pengaturan yang jells dan tepat.

Polemik ini adalah momentum yang tepat untuk menutup celah hukum, untuk menegaskan kembali proporsi kuota, serta memberikan mekanisme darurat yang realistis.

Dengan begitu, kuota tambahan tidak lagi menjadi sumber polemik, tetapi justru sebaliknya, yaitu menjadi maslahat bagi umat.

 

 

 

Editor : Alim Perdana