SURABAYA – Penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam konten media sosial Kepolisian Republik Indonesia (Polri) baru-baru ini menuai kontroversi di kalangan netizen.
Menanggapi hal ini, Dr. Suko Widodo, Drs., M.Si., Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (UNAIR), menyoroti pentingnya strategi komunikasi yang lebih transparan dan humanis.
Dr. Suko mengakui bahwa AI menawarkan inovasi visual yang menarik, namun penggunaan AI dalam membentuk citra Polri dinilai kurang realistis dan cenderung memaksakan imajinasi publik.
"Polisi terlalu memaksa diri dan kurang realistis dalam membentuk imajinasi di mata publik lewat AI," ujarnya.
Ia menegaskan bahwa pendekatan yang kurang transparan ini dapat berdampak negatif, bahkan menjadi bumerang jika terdapat kesenjangan antara realitas dan citra yang dibangun melalui AI.
Dr. Suko menyarankan Polri untuk merancang alur persetujuan konten yang ketat, terutama jika menggunakan AI.
"Teknologi seperti AI rapuh dan mudah pecah saat muncul kritik atau hoaks," jelasnya. Ia menekankan pentingnya membangun kepercayaan publik melalui komunikasi dua arah yang partisipatif dan humanis.
"Media sosial dapat membentuk persepsi publik dengan cepat," kata Dr. Suko. "Kepolisian harus tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga mendengarkan masyarakat," lanjutnya.
Transparansi, menurutnya, merupakan fondasi utama. Data penanganan kasus, statistik kejahatan, dan prosedur pengaduan harus mudah diakses dan diperbarui secara real-time. Pesan institusi juga harus konsisten di semua kanal media sosial.
Sebagai solusi, Dr. Suko mengusulkan beberapa langkah strategis. "Kepolisian perlu membuka forum daring atau virtual town hall untuk menampung keluhan, saran, dan kolaborasi dalam merancang solusi keamanan," sarannya.
Selain itu, ia juga mendorong Polri untuk mengadopsi open data portal interaktif dan menerbitkan laporan transparansi berkala.
"Dibutuhkan tim riset dan monitoring yang menerapkan metodologi ilmiah, seperti social network analysis dan sentiment analysis, serta kolaborasi dengan ahli komunikasi, data science, dan psikologi sosial," pungkas Dr. Suko.
Hal ini penting untuk memetakan penyebaran hoaks dan merancang strategi respons yang efektif.
Editor : Alim Perdana