Oleh Ramadhan Isa
Poros Muda NU adalah wadah gerakan moral aktivis muda Nahdlatul Ulama yang concern menyikapi masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Meski komunitas aktivis muda Nahdlatul Ulama ini bersifat kultural tapi diawal pendiriannya mendapat dukungan dari Ketua Umum PBNU, KH. Hasyim Muzadi.
Poros Muda NU berijtihad memerangi Korupsi dengan berpedoman pada TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Karena itu, Poros Muda NU mengambil sikap berjihad melawan korupsi di tanah air, dari Sabang sampai Merauke.
Dalam melakukan kampanye dan perlawanan anti korupsi, Poros Muda NU tidak asal bunyi atau asbun. Riset dan dan pengolahan data dilakukan sebelum pada kesimpulan adanya dugaan korupsi oleh penyelenggara negara.
Bila dirasa cukup didapati bukti dugaan tindak pidana korupsi, maka akan dilakukan sejumlah langkah-langkah konkret.
Mulai dari pelaporan ke institusi terkait, seperti KPK, Kejaksaan mau pun Bareskrim Polri, atau terkadang melakukan penggalangan isu di media massa sampai pada aksi massa.
Poros Muda NU dalam melakukan kerja-kerja perlawanan terhadap tindak pidana korupsi tidak gegabah atau hantam kromo.
Pihaknya tidak mau menjadi alat politik untuk membunuh karakter seseorang, apalagi bila itu orang yang justru berintegritas. Sebaliknya, justru orang-orang berintegritas itu harus dijaga agar tidak rusak karena framing negatif.
Dalam menganalisa adanya dugaan tindak pidana korupsi, Poros Muda NU berpedoman pada mens rea atau niat jahat. Ini merupakan elemen penting yang harus dibuktikan. Mens rea merujuk pada kondisi mental pelaku saat melakukan tindak pidana, yaitu apakah pelaku memiliki kesengajaan atau niat jahat untuk melakukan perbuatan tersebut.
Tanpa adanya mens rea, suatu tindakan, meskipun secara lahiriah terlihat melanggar hukum (actus reus), belum tentu dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Contohnya dalam kasus Hibah Gubernur Jawa Timur yang sedang disidik KPK. Tidak ada mens rea pada Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa.
Kasus Hibah Gubernur Jawa Timur ini harus didudukan secara fair dengan logika hukum. Memang betul, yang dikorupsi atau diselewengkan adalah hibah gubernur tapi harus dibuktikan apakah Khofifah sebagai gubernur dan yang menandatangani hibah ikut melakukan penyelewengan hibah.
Dalam pencairan dana hibah gubernur ada Nota perjanjian hibah antara Biro Kesra dengan penerima hibah. Ini adalah dokumen legal yang merinci kesepakatan pemberian hibah, termasuk hak dan kewajiban masing-masing pihak, tujuan hibah, serta tata cara penyaluran dan pelaporan.
Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) adalah istilah yang digunakan untuk dokumen ini, khususnya jika hibah bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pencairan dana hibah itu pun ditransfer langsung ke rekening lembaga penerima hibah.
Faktanya, penyelewengan hibah yang disidik KPK itu dikelola oleh legislatif, bukan hibah yang dikelola eksekutif. Terbukti yang menjadi tersangka dan terpidana adalah anggota DPRD, baik provinsi mau pun kabupaten. Akibat adanya praktek ijon dan pemotongan anggaran hibah.
Justru bila ditelisik, Khofifah adalah pihak yang dirugikan. Sebab hibah gubernur yang seharusnya punya tujuan mulia untuk membangun infrastruktur dan mensejahterakan rakyat Jawa Timur justru diselewengkan oleh oknum anggota dewan.
Seharusnya, keterlibatan anggota dewan dalam menyalurkan atau paling tidak merekomendasikan turunnya hibah gubernur, bisa membuat hibah tersebut tepat sasaran.
Sebab, mereka ini lah yang punya konstituen dan daerah pemilihan (Dapil). Tapi justru sebaliknya malah diselewengkan untuk memperkaya diri, yang kemudian hasilnya dikaburkan dengan pembelian sejumlah aset.
Bila meminjam analogi kasus dana hibah gubernur Jatim ini, seperti orang punya pohon mangga dengan mangganya yang sudah berbuah di dalam pagar pekarangan rumah.
Lalu mangga tersebut di curi dengan cara memanjat pagar atau menggunakan galah. Tapi justru si pemilik rumah yang disalahkan atas pencurian itu, karena dianggap tidak bisa menjaga buah mangga miliknya.
Pihaknya sebagai kader muda NU paham benar siapa sosok Khofifah. Ia figur berintegritas jauh dari praktek korupsi. Ia memiliki rekam jejak panjang di pemerintahan, baik eksekutif mau pun legislatif. Ia selalu clear dan clean di lembaga yang dipimpin.
Khofifah yang saat ini berusia 60 tahun, pernah menjadi pimpinan DPR RI, beberapa kali Ketua Komisi di DPR RI, dua kali menjadi menteri, menjadi Kepala BKKBN dan dua kali menjadi gubernur.
Ia juga diberi amanah oleh para Ibu-Ibu Muslimat NU memimpin organisasi perempuan terbesar di dunia itu selama 25 tahun, sampai hari ini dinobatkan menjadi Ketua Umum Dewan Pembina Muslimat NU. Ia juga tercatat sebagai Ketua PBNU periode 2022-2027.
Bila mengacu pada lembaran Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), kekayaan yang dimiliki Khofifah sekitar Rp26 Miliar. Ini merujuk LHKPN tahun 2024.
Dengan lebih separuh hidupnya menjadi penyelenggara negara. Jumlah tersebut tergolong sangat kecil. Jauh dibanding kekayaan menteri dan Komisaris yang bahkan saat Khofifah menjadi Wakil Ketua DPR RI, mereka baru memasuki perkuliahan dan baru belajar berorganisasi atau bahkan masih di tingkat SMA.
Poros Muda NU berharap kesaksian Khofifah nantinya dihadapan penyidik KPK bisa membuka terang tabir penyelewengan hibah gubernur. Pihaknya yakin Khofifah akan secara gamblang memberikan keterangan kepada penyidik, karena ia tidak punya beban sama sekali.
Pihaknya yakin keterangan Khofifah akan memperkuat dakwaan kepada para tersangka pelaku dugaan korupsi hibah di pengadilan Tipikor.
Koordinator Poros Muda NU
Alumni PMII Ciputat
Editor : Diday Rosadi