KONGO - Perwakilan masyarakat adat dan komunitas lokal dari kawasan hutan tropis dunia, termasuk 22 delegasi dari Indonesia, berkumpul dalam Kongres Global Pertama Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dari daerah Aliran Sungai Hutan (Three Basins Summit) di Brazzaville, Republik Kongo, pada 26-30 Mei 2025.
Kongres Global Masyarakat Adat bersejarah ini, diselenggarakan oleh Global Alliance of Territorial Communities (GATC) bekerja sama dengan Rights and Resources Initiative (RRI), menyatukan para penjaga hutan dari Amazon, Kongo, Borneo-Mekong-Asia Tenggara, dan Mesoamerika.
Juan Carlos Jintiach, Sekretaris Eksekutif GATC, menekankan pentingnya kongres ini. "Kongres ini adalah tonggak sejarah bagi persatuan masyarakat di kawasan hutan tropis. Kami hadir sebagai koalisi hidup, membawa kearifan leluhur dan desakan untuk membela hak-hak alam dan masyarakat kami. COP30 di Brasil (November 2025) hanyalah satu titik dalam perjuangan panjang ini," tegasnya.
Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), turut hadir dan merefleksikan perjuangan panjang komunitas adat.
Ia mencatat perkembangan positif GATC dalam sepuluh tahun terakhir, khususnya pemberdayaan perempuan adat di Afrika. Namun, Rukka mengingatkan pentingnya menghindari beban administrasi berlebih.
"Jika itu terjadi, kita justru melemahkan para penjaga bumi," ujarnya.
Rosalie Matondo, Menteri Ekonomi Kehutanan Republik Kongo, yang membuka kongres pada Selasa (27/5/2025), menekankan pentingnya sinergi antara perlindungan lingkungan, pertumbuhan ekonomi, dan partisipasi aktif masyarakat adat.
"Saya sangat menghargai kepemimpinan perempuan adat yang merawat komunitas dan wilayah kita demi keberlanjutan bumi lintas generasi," puji Menteri Matondo.
Kongres ini sangat penting mengingat wilayah yang dikelola masyarakat adat memiliki tingkat deforestasi jauh lebih rendah. Namun, pengakuan global dan dukungan hukum serta pendanaan masih kurang.
Kongres ini bertujuan untuk merumuskan strategi bersama yang menempatkan hak, pengetahuan, dan sistem kehidupan masyarakat adat sebagai pusat tata kelola lingkungan global.
Joseph Itongwa, Koordinator REPALEAC (anggota GATC), menjelaskan, "Ini bukan hanya soal pendanaan atau keadilan iklim. Sudah saatnya proses kebijakan lebih manusiawi. Suara kami telah memperingatkan dunia tentang krisis yang tak terpulihkan. Dunia harus mendengar, dan komunitas hutan harus terus memimpin."
Kongres ini melanjutkan semangat forum perempuan adat di Afrika Tengah dan Cekungan Kongo (2023). CLARIFI (mekanisme pendanaan RRI) mengumumkan dukungan US$270.000 untuk inisiatif perempuan adat di delapan negara Afrika.
Deborah Sanchez, Direktur CLARIFI, menjelaskan dana tersebut untuk pelatihan dan penguatan teknis perempuan adat dalam regenerasi tanah, pengembangan ekonomi lokal, restorasi keanekaragaman hayati, dan advokasi hak wilayah.
Sara Omi Casama, perwakilan gerakan perempuan GATC, menyatakan, "Membela Bumi berdasarkan pengetahuan leluhur adalah bentuk perlawanan. Kongres ini memperkuat suara perempuan adat dalam tata kelola wilayah yang adil."
Levi Sucre Romero, Direktur Aliansi Masyarakat Hutan Mesoamerika (AMPB), menambahkan, "Para pemimpin politik mulai mengakui pengetahuan kami. Perubahan iklim kompleks, semua saling terkait. Pertemuan ini menunjukkan aksi nyata dan membangun aliansi yang memprioritaskan kehidupan dan keseimbangan planet."
Selama lima hari, kongres membahas situasi kawasan hutan, mengadakan sesi khusus perempuan dan pemuda, serta kelompok kerja tematik. Deklarasi Kongres dan Rencana Aksi akan disepakati, dengan upacara penutupan melibatkan kepala negara, donor, dan mitra global.
Editor : Alim Perdana