Oleh: Ulul Albab
Akademisi FIA Unitomo Surabaya
Ketua ICMI Jawa Timur
PEREKONOMIAN Indonesia yang terus berkembang tampaknya tidak bisa lepas dari bayang-bayang masalah besar: korupsi. Salah satu sektor yang kerap menjadi sorotan dalam hal penyalahgunaan kekuasaan adalah sektor energi, yang mencakup badan usaha milik negara seperti PT Pertamina.
Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh dugaan pengoplosan Pertamax yang diduga melibatkan PT Pertamina Patra Niaga.
Kasus ini membuka lebih banyak ruang untuk mengkaji bagaimana pengelolaan sumber daya alam kita terkontaminasi oleh kepentingan pribadi dan korupsi struktural. Dalam tulisan ini, kita akan menelaah lebih jauh fakta yang terungkap, respons dari berbagai pihak, serta dampak sosial-ekonomi yang dapat ditimbulkan.
Puncak Gunung Es Korupsi: Kasus Pertamax Oplosan
Dugaan pengoplosan Pertamax yang terungkap melalui penyelidikan Kejaksaan Agung bukanlah sekadar kasus penyalahgunaan barang yang seharusnya disalurkan dengan kualitas tertentu kepada konsumen. Ini adalah gambaran nyata dari ketidakberdayaan negara dalam mengawasi dan menegakkan hukum pada sektor yang sangat vital ini.
Kejaksaan Agung, melalui Kepala Pusat Penerangan Harli Siregar, mengungkapkan temuan yang mengejutkan: Pembelian minyak yang seharusnya memiliki RON 92 (Pertamax) ternyata lebih rendah, yaitu RON 90, yang setara dengan Pertalite, yang dibayar dengan harga RON 92.
Fakta hukum ini, yang melibatkan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, menyiratkan adanya rekayasa dalam pengelolaan distribusi bahan bakar. Namun, hal ini tidak serta merta mengonfirmasi tuduhan pengoplosan yang terstruktur.
Sebaliknya, muncul kebingungannya tentang bagaimana sebuah BUMN yang memiliki struktur pengawasan yang cukup besar, bisa terlibat dalam praktek yang merugikan negara dan masyarakat.
Kejaksaan Agung menemukan bahwa pembayaran yang tidak sesuai spesifikasi tersebut terjadi sepanjang periode 2018 hingga 2023, dengan dampak yang sangat besar, baik dari segi keuangan negara maupun kualitas bahan bakar yang diterima oleh masyarakat.
Temuan ini menandai sebuah titik penting dalam pemberantasan korupsi yang perlu mendapatkan perhatian khusus, tidak hanya dalam hal kasus ini, tetapi juga bagaimana sektor energi kita dikelola.
Bantahan Dari Pertamina: Kualitas Sesuai Standar?
Respons dari PT Pertamina, yang membantah tuduhan pengoplosan, menambah kompleksitas dalam memahami isu ini. Pertamina menyatakan bahwa produk yang sampai ke konsumen telah sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan, dan kualitas BBM yang mereka distribusikan telah teruji oleh lembaga independen seperti LEMIGAS.
Namun, meskipun klaim ini mengandung unsur pembelaan terhadap perusahaan, jawaban tersebut tidak cukup untuk menanggalkan pertanyaan publik yang berlarut-larut.
Mengapa temuan Kejaksaan Agung bisa berbeda dengan klaim Pertamina? Seperti biasa, di balik pernyataan ini, ada ketidakjelasan yang tak terpecahkan.
Apakah ini berarti ada masalah besar dalam pengawasan internal perusahaan? Atau, lebih parah lagi, apakah ada permainan bisnis di balik harga yang lebih tinggi, namun barang yang diterima lebih rendah kualitasnya?
Pertanyaan ini tak bisa dibiarkan begitu saja, sebab pengelolaan BBM yang tidak transparan berpotensi merusak kepercayaan masyarakat dan memicu kerugian besar bagi negara.
Konsekuensi Sosial dan Ekonomi
Korupsi di sektor energi, terutama terkait dengan bahan bakar, memiliki dampak jauh lebih besar daripada sekadar kerugian finansial. Kualitas bahan bakar yang buruk, yang sejatinya mengandung campuran bahan bakar dengan nilai oktan lebih rendah, bisa menurunkan kinerja mesin kendaraan, yang pada gilirannya berdampak pada peningkatan biaya operasional masyarakat.
Masyarakat yang terlanjur membayar harga tinggi untuk bahan bakar berkualitas, pada akhirnya mendapatkan produk yang jauh dari harapan. Hal ini menimbulkan ketidakadilan sosial yang berlarut-larut.
Korupsi yang melibatkan BUMN dalam distribusi energi juga menciptakan ketimpangan ekonomi yang lebih dalam. Perekonomian negara yang bergantung pada sektor energi sangat rentan terhadap manipulasi harga dan kualitas.
Keberadaan korupsi dalam sistem ini akan memicu ketidakstabilan yang lebih besar, tidak hanya merugikan negara dalam hal kerugian finansial yang besar, tetapi juga merusak iklim investasi dan memperburuk ketimpangan sosial-ekonomi di masyarakat.
Solusi dan Pembenahan: Mengawal Sektor Energi dengan Ketegasan
Sebagai langkah tindak lanjut, Kejaksaan Agung harus memastikan proses penyelidikan ini berlangsung secara transparan dan tidak bias. Dalam hal ini, peran pemerintah untuk membersihkan sektor energi dari praktek korupsi sangat diperlukan.
Program reformasi yang lebih ketat terhadap pengawasan BUMN, terutama dalam sektor energi, harus segera dilaksanakan. Selain itu, pembenahan struktural yang mengutamakan akuntabilitas dan transparansi akan sangat menentukan efektivitas kebijakan yang diterapkan.
Tidak hanya itu, penegakan hukum yang tegas terhadap koruptor, seperti yang dijanjikan oleh Presiden Prabowo, harus disertai dengan pengawasan yang berkelanjutan agar tidak ada ruang bagi praktek penyalahgunaan kekuasaan dalam pengelolaan sumber daya alam negara.
Pengawasan internal di BUMN juga harus diperkuat untuk mencegah terjadinya pengoplosan dan penyimpangan lainnya yang merugikan masyarakat.
Antara Korupsi dan Ketidakberdayaan
Kasus pengoplosan Pertamax ini hanya satu dari sekian banyak wajah korupsi yang merusak wajah negara. Ini adalah pengingat bagi kita bahwa untuk memastikan keberlanjutan dan kesejahteraan bangsa, kita harus membersihkan sektor-sektor vital dari penyalahgunaan kekuasaan.
Pengelolaan energi yang bersih dan transparan bukan hanya soal keadilan bagi rakyat, tetapi juga soal kedaulatan negara dalam memanfaatkan sumber daya alamnya.
Pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat harus bersama-sama mengawal proses ini dengan penuh kesungguhan, agar Indonesia dapat keluar dari bayang-bayang korupsi yang terus menghantui.
Editor : Alim Perdana