JAKARTA – Kalau ada yang bilang korupsi di Indonesia itu biasa, mungkin mereka belum lihat kasus yang satu ini. Kejaksaan Agung (Kejagung) baru saja mengungkap dugaan korupsi mega-gila-gilaan di tubuh Pertamina.
Bayangkan, minyak mentah dan produk kilang dioplos-oplos ala tukang jamu, hingga negara harus merogoh kocek Rp193,7 triliun! Ya, Anda tidak salah baca: Rp193,7 triliun!
Tujuh Tersangka, Satu Drama Korupsi
Kejagung sudah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus ini. Mereka bukan sembarang orang, melainkan para petinggi di subholding Pertamina dan beberapa broker minyak mentah. Berikut daftar “pemain utama” dalam drama korupsi ini:
1. RS (Riva Siahaan), Dirut PT Pertamina Patra Niaga.
2. SDS (Sani Dinar Saifuddin), Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional.
3. YF (Yoki Firnandi), Dirut PT Pertamina International Shipping.
4. AP (Agus Purwono), VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
5. MKAR (Muhammad Kerry Andrianto Riza), Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.
6. DW (Dimas Werhaspati), Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim.
7. GRJ (Gading Ramadan Joedo), Komisaris PT Jenggala Maritim dan Dirut PT Orbit Terminal Merak.
Menurut Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, ketujuh tersangka ini diduga terlibat dalam praktik korupsi yang bikin negara merana.
“Kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun. Ini bukan angka main-main,” tegas Qohar.
Modusnya? Gila-gilaan!
Kasus ini terjadi pada periode 2018–2023. Saat itu, Pertamina seharusnya memprioritaskan pembelian minyak mentah dari kontraktor dalam negeri, sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018.
Tapi, apa yang terjadi? Para tersangka malah menurunkan produksi kilang dalam negeri dan memilih impor minyak mentah dengan harga selangit.
“Mereka sengaja menolak minyak mentah dari kontraktor dalam negeri dengan alasan spesifikasi tidak sesuai. Padahal, minyak itu masih bisa diolah. Ini jelas akal-akalan,” ujar Qohar.
Akibatnya, minyak mentah dalam negeri diekspor, sementara Pertamina mengimpor minyak dengan harga yang jauh lebih mahal.
Belum lagi, ada mark up biaya pengiriman (shipping) yang dilakukan oleh tersangka YF, dengan fee mencapai 13-15%.
Pertalite Jadi Pertamax, Negara Jadi Korban
Nah, ini dia bagian yang bikin geleng-geleng kepala. Tersangka RS, selaku Dirut PT Pertamina Patra Niaga, diduga membeli produk kilang dengan oktan rendah (RON 90 atau setara Pertalite).
Tapi, alih-alih menjualnya sebagai Pertalite, produk itu dioplos sedemikian rupa hingga jadi RON 92 (setara Pertamax).
“Tersangka RS membeli RON 90, tapi dijual sebagai RON 92. Ini jelas melanggar aturan,” jelas Qohar.
Bayangkan, Pertalite disulap jadi Pertamax. Kalau tukang oplos minuman keras aja bisa kena razia, masa Pertamina enggak?
Negara Rugi, Rakyat Jadi Korban
Akibat praktik korupsi ini, negara harus mengeluarkan subsidi BBM lebih besar karena harga dasar minyak jadi melambung tinggi.
“Komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP BBM jadi mahal. Ini berdampak pada subsidi BBM yang harus dikeluarkan negara,” kata Qohar.
Kerugian negara sebesar Rp193,7 triliun ini masih perkiraan sementara. Kejagung masih menghitung kerugian pasti bersama para ahli. Tapi, yang jelas, angka ini sudah cukup bikin kita semua ngos-ngosan.
Apa Kata Pertamina?
Pertamina menyatakan menghormati proses hukum yang berjalan. "Pertamina siap bekerja sama dengan aparat berwenang dan berharap proses hukum berjalan lancar dengan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah," kata VP Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso.
Tapi, ya sudahlah, kita semua tahu, janji-janji manis seperti ini sudah sering kita dengar. Yang penting, tindak tegasnya mana?
Kasus ini bukan cuma bikin geleng-geleng kepala, tapi juga bikin geram. Pertamina, sebagai BUMN strategis, seharusnya menjadi tulang punggung ketahanan energi nasional. Tapi, yang terjadi malah jadi sumber korupsi.
Masyarakat pun berharap, kasus ini tidak berhenti di level menengah saja. Kejagung harus mengusut tuntas hingga ke akar-akarnya. Jangan sampai kasus ini cuma jadi bahan ketawa dan lalu dilupakan.
Editor : Alim Perdana