Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
SAYA membaca berita itu sambil mengerutkan dahi. Bukan karena isunya besar, bukan. Hanya soal seorang dosen yang meludahi kasir swalayan. Tapi justru karena kecil itulah, saya merasa perlu introspeksi dan refleksi, bahwa sepertinya ada yang janggal dengan cara kita marah hari-hari ini.
Baca juga: Saat Obat Tak Bisa Diambil
Kita sudah sering mendengar pejabat bicara kasar. Ada yang nyeletuk “mbahmu.” Ada yang spontan berkata “ndasmu.” Kalimat itu viral, lalu menghilang begitu saja. Dan sebagian dari kita bisa tertawa, sebagian menganggap candaan, sebagian lagi mengelus dada.
Mungkin di situ awalnya: kata-kata orang besar menjadi pembenar bagi orang kecil untuk ikut-ikutan kasar. Atau sebaliknya.
Jangan-jangan orang-orang besar yang suka berkata kasar itu sesungguhnya mereka adalah orang kecil yang disulap menjadi orang besar karena bisa membayar.
Yang menarik dari kasus dosen meludahi kasir ini bukan hanya ludahnya. Meludah itu tindakan fisik. Spontan. Ekspresi emosi yang tak diolah. Tapi yang menarik adalah bahwa “meludah” itu juga simbol. Simbol superioritas. Simbol “aku lebih tinggi darimu.”
Simbol tentang bagaimana seseorang memandang manusia lain dengan puncak dagu (sombing) atau dengan hati (sopan).
Yang diludahi bukan pejabat. Bukan orang berkuasa. Hanya kasir. Seorang pekerja yang berdiri sepanjang hari, menjumlah dan mencatat transaksi belanjaan kita, mendengar teguran pelanggan yang harus diterima dengan tersenyum meski terdengar kasar, agar tidak dianggap servicenya buruk.
Kasir tidak punya mikrofon. Tidak punya saluran konferensi pers untuk membela diri. Ia hanya punya harga diri. Dan harga diri itulah yang terkena ludah hari itu.
Singkat cerita, Universitas akhirnya memecat dosen tersebut. Langkah tegas sekaligus sinyal keras. Bahwa gelar akademik bukan jaminan akhlak.
Bahwa pendidikan tinggi tidak otomatis bermoral tinggi. Bisa saja doktor, tapi gagal menjadi manusia yang utuh.
Saya bayangkan, kalau saja dosen itu sadar lima detik lebih awal, ia mungkin memilih menarik napas. Jika waktu itu ia mundur tiga langkah, mungkin insiden selesai hanya dengan raut kesal.
Baca juga: Refleksi Akhir Tahun 2025: Saatnya Indonesia Berbenah di Tahun 2026
Tidak sampai ada “Hikayat Ludah”. Tapi hidup memang tidak menyediakan tombol rewind. Dan akhirnya ludah itu kini menjadi riwayat. Menjadi hikayat peenutup tahun.
Namun, jangan lupa. Ini hanya satu contoh yang tertangkap kamera. Berapa banyak yang tidak terekam? Di jalan raya, di layanan publik, di media sosial, bahkan dalam rapat pejabat.
Betapa mudah kita marah. Betapa cepat kita tersinggung. Betapa rendah kemampuan kita menahan diri. Kita ini bangsa yang besar, tapi sering kesulitan dalam hal kecil: yaitu berlaku sopan santun.
Kita membangun ibu kota baru, membangun kereta cepat, memindahkan industri digital. Semua bisa kita lakukan. Tapi membangun kesabaran? Mengendalikan lidah? Itu justru sulit kita lakukan dan bahkan menjadi pekerjaan berat. Kita cenderung merasa pintar, tetapi jarang merasa perlu memperbaiki sikap.
Padahal di akhir tahun ini banyak yang ingin kita perbaiki. Negeri sedang tidak baik-baik saja. Bencana masih terjadi di banyak daerah. Ekonomi sebagian rakyat belum pulih. Banyak orang sedang menabung harapan, bukan menabung amarah.
Maka ketika kalender hampir berganti, saya rasa kita perlu berdiri tegap menatap cermin. Bukan menatap layar HP.
Baca juga: Umrah, Negara, dan Pasar: Catatan dan Refleksi Akhir Tahun 2025
Di depan cermin itu kita perlu bertanya: Sudahkah kita memperlakukan orang lain dengan hormat? Atau kita sebenarnya ya seperti dosen itu, hanya saja tidak terekam kamera?
Saya tidak tahu bagaimana nasib kasir itu hari ini. Tapi saya berharap ia bangga pada dirinya sendiri. Ia tidak membalas. Ia tidak menjadi peludah berikutnya. Ia diam. Karena terkadang diam adalah sikap mulia ketika pilihan sikap lain yang tersedia hanyalah “membalas dengan lebih marah”.
Dan kepada kita semua, kejadian kecil ini seperti mengetuk pintu batin kita untuk mengingatkan diri: agar kita mula belajar dari hal sederhana. Menahan kata. Mengurangi nada. Mengingatkan diri bahwa manusia tidak dinilai dari jabatan, tapi dari caranya menghormati manusia lain.
Kalau bangsa ini ingin maju di 2026, tidak cukup dengan target ekonomi dan investasi. Kita juga perlu sasaran moral. Kita butuh budaya antre yang lebih tenang. Sopir yang mau mengalah. Pejabat yang mau meminta maaf.
Akademisi yang rendah hati. Dan warga yang tidak mudah melempar ludah dalam bentuk apa pun. Karena ludah akan bisa kering. Tapi rasa “malu” sepertinya tidak bisa kering, apalagi terlanjur viral.
Editor : Alim Perdana