Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
Ketua Litbang DPP Amphuri
TAHUN 2025 menjadi penanda penting dalam perjalanan penyelenggaraan haji dan umrah di Indonesia.
Baca juga: Refelksi Akhir Tahun: Menutup Tahun dengan Kejernihan Hukum
Sejumlah peristiwa besar terjadi hampir bersamaan, membentuk satu rangkaian yang saling terkait: mulai dari mengemukanya kasus dugaan korupsi kuota haji yang disidik KPK, revisi Undang-Undang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, hingga munculnya perdebatan publik mengenai arah tata kelola umrah nasional.
Kasus kuota haji yang mencuat pada 2025, meskipun berakar pada penyelenggaraan haji tahun sebelumnya, membuka mata publik bahwa sektor haji dan umrah masih menyimpan persoalan mendasar dalam tata kelola, transparansi, dan akuntabilitas.
Peristiwa ini bukan sekadar soal pelanggaran hukum, tetapi menyentuh kepercayaan publik terhadap negara dalam mengelola ibadah yang bersifat sakral sekaligus kompleks.
UU Baru dan Perubahan Lanskap Kelembagaan
Di tengah konteks tersebut, pemerintah dan DPR menetapkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019.
Undang-undang ini membawa perubahan signifikan, antara lain dengan dibentuknya Kementerian Haji dan Umrah. Secara kelembagaan, langkah ini dapat dibaca sebagai upaya memperkuat fokus negara dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umrah.
Namun, perubahan regulasi tidak hanya menyangkut struktur kelembagaan. Undang-undang baru ini juga memperkenalkan konsep dan skema baru dalam penyelenggaraan umrah, termasuk penguatan jalur yang dikenal sebagai umrah mandiri.
Di sinilah diskursus publik mulai mengemuka, karena perubahan norma tersebut berimplikasi langsung pada ekosistem industri umrah nasional.
Tantangan bagi Industri Umrah Nasional
Indonesia selama ini memiliki ekosistem umrah yang relatif mapan. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tidak hanya berfungsi sebagai pelaku usaha, tetapi juga sebagai penghubung antara negara, jemaah, dan otoritas Arab Saudi.
Di sekelilingnya tumbuh berbagai sektor pendukung: UMKM, tenaga pembimbing ibadah, transportasi, akomodasi, hingga ribuan tenaga kerja.
Dengan terbukanya ruang yang semakin luas bagi mekanisme pasar, termasuk potensi masuknya platform dan marketplace global, muncul kekhawatiran bahwa industri umrah nasional akan menghadapi tekanan yang tidak seimbang.
Platform global memiliki keunggulan modal, teknologi, dan jaringan lintas negara, yang berpotensi menggeser pelaku usaha domestik dari rantai nilai industri umrah.
Persoalan ini bukan semata-mata soal persaingan usaha, tetapi sudah menyentuh mandat konstitusi tentang perlindungan negara terhadap kegiatan ekonomi rakyat dan pelaku usaha dalam negeri.
Tanpa desain kebijakan yang adil, liberalisasi penyelenggaraan umrah berisiko melemahkan kemandirian industri nasional yang justru selama ini menjadi penopang pelayanan jemaah.
Perlindungan Jemaah dalam Perspektif Konstitusi
Baca juga: Jatim Tidak Kekurangan Uang, Tapi Kekurangan Keberanian Membagi
Aspek lain yang patut menjadi perhatian adalah perlindungan jemaah. Konsep kemandirian dalam berumrah tidak dapat dimaknai sebagai pelepasan tanggung jawab negara.
UUD 1945 menegaskan bahwa perlindungan hak warga negara, termasuk dalam menjalankan ibadah, merupakan kewajiban konstitusional negara.
Pengalaman bertahun-tahun menunjukkan bahwa persoalan umrah tidak hanya berkaitan dengan keberangkatan, tetapi juga keselamatan, kepastian layanan, dan pemulihan hak ketika terjadi masalah.
Dalam konteks ini, kejelasan norma, kesatuan rezim hukum, serta kehadiran negara sebagai pengawas dan pelindung menjadi elemen yang tidak dapat ditawar.
Dimensi Ibadah yang Tidak Boleh Tereduksi
Di luar aspek hukum dan ekonomi, terdapat dimensi lain yang sering luput dari perdebatan kebijakan, yakni substansi ibadah umrah itu sendiri.
Umrah bukan sekadar perjalanan religi atau aktivitas wisata spiritual. Ia mengandung tuntunan syariat, pembimbingan, dan tanggung jawab moral yang menyertainya.
Ketika penyelenggaraan umrah semakin didekati dengan logika efisiensi dan transaksi semata, terdapat risiko tereduksinya makna ibadah menjadi sekadar mobilitas keagamaan.
Negara, dalam hal ini, memiliki peran strategis untuk memastikan bahwa tata kelola umrah tetap menjaga keseimbangan antara aspek pelayanan, perlindungan, dan nilai-nilai ibadah.
Baca juga: Kajian Akhir Tahun ICMI Jatim, dari Sertifikat ke Pasar Global: PR Ekonomi Halal Jawa Timur 2026
Jalan Korektif melalui Konstitusi
Perdebatan yang berkembang sepanjang 2025 kemudian melahirkan satu fenomena penting: yaitu penggunaan mekanisme uji materiil di Mahkamah Konstitusi. Langkah ini mencerminkan kesadaran bahwa koreksi kebijakan dalam negara hukum harus ditempuh melalui jalur konstitusional.
Permohonan pengujian undang-undang tidak dapat dibaca sebagai penolakan terhadap reformasi, tapi justru sebagai ikhtiar memastikan bahwa reformasi berjalan sejalan dengan prinsip keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan hak warga negara.
Catatan Penutup
Animo masyarakat Indonesia untuk berhaji dan berumrah sepanjang 2025 tetap tinggi. Kerinduan spiritual itu tidak pernah surut. Justru karena itulah, negara dituntut untuk memastikan bahwa kebijakan yang lahir tidak hanya efisien secara administratif, tetapi juga adil secara konstitusional dan bermakna secara keagamaan.
Akhir tahun 2025 menjadi momentum refleksi: apakah penyelenggaraan umrah akan diarahkan semata sebagai mekanisme pasar global, atau tetap ditempatkan sebagai ibadah umat yang dikelola dengan kehadiran negara yang bertanggung jawab.
Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan wajah penyelenggaraan umrah Indonesia pada tahun-tahun mendatang.
Editor : Alim Perdana