Oleh: Ulul Albab
Pengajar Pendidikan Anti Korupsi
Ketua ICMI Jawa Timur
SETIAP kali ada jaksa atau penegak hukum ditangkap KPK, publik selalu terkejut. Lalu marah. Setelah itu lelah. Dan akhirnya, pelan-pelan, terbiasa.
Baca juga: Surabaya Sudah Maju, Tapi Bagaimana Madura dan Tapal Kuda?
Padahal yang ditangkap bukan pegawai biasa. Mereka adalah orang-orang yang sehari-hari berbicara tentang hukum, pasal, keadilan, dan kepentingan negara. Ironinya, justru di tangan merekalah hukum kadang berubah arah.
Pertanyaannya sederhana, tapi tidak pernah benar-benar dijawab tuntas: mengapa penegak hukum justru tergoda korupsi?
Jawaban yang paling sering kita dengar adalah satu kata yang sudah terlalu sering dipakai: oknum. Seolah-olah korupsi itu kecelakaan pribadi, bukan bagian dari sistem. Seolah-olah kalau satu orang ditangkap, masalah selesai.
Padahal, kalau oknum terus berulang, mungkin yang salah bukan hanya manusianya, tetapi rumah tempat ia bekerja.
Dalam praktik penegakan hukum kita, penegak hukum memegang kekuasaan yang sangat besar.
Mereka bisa menentukan pasal, mengatur tempo perkara, menghentikan atau melanjutkan proses. Kekuasaan semacam ini, dalam teori apa pun, selalu berbahaya jika tidak dikawal.
Masalahnya, kita terlalu lama percaya bahwa jabatan hukum otomatis melahirkan moral. Seakan-akan begitu seseorang menjadi jaksa atau hakim, ia kebal dari godaan.
Padahal sejarah umat manusia menunjukkan satu hal sederhana: bahwa kekuasaan tidak pernah netral. Ia selalu menggoda iman.
Reformasi hukum sebenarnya sudah berjalan lama. Undang-undang sudah sering berganti. Struktur diperbarui.
Spanduk zona integritas dipasang di mana-mana. Tetapi sering kali reformasi berhenti di etalase. Yang disentuh adalah bentuk, bukan isi. Yang diperbaiki adalah prosedur, bukan relasi kuasa.
Baca juga: Tiga OTT Sehari: Memangnya Negeri Apa Ini?
Diskresi, misalnya. Di atas kertas, diskresi itu perlu agar hukum tidak kaku. Tapi di lapangan, diskresi tanpa transparansi berubah menjadi ruang gelap. Dan di ruang gelap, transaksi mudah terjadi.
Ada pula soal budaya institusi. Dalam banyak kasus, menjaga nama baik lembaga terasa lebih penting daripada membuka kebenaran.
Pelanggaran diselesaikan secara internal, sunyi, sepi, dan cepat. Yang bersuara justru dianggap bising dan mengganggu stabilitas.
Padahal, institusi yang sehat bukan yang tampak bersih, tapi yang berani membersihkan diri secara terbuka. Pendidikan hukum kita juga patut bercermin.
Kita hebat mengajarkan cara membaca pasal, tapi sering lupa mengajarkan cara menahan diri saat berkuasa. Kita mencetak aparat yang cerdas secara teknis, tetapi belum tentu mencetak aparat yang matang secara etis.
Akibatnya, lahirlah penegak hukum yang tahu celah hukum lebih cepat daripada suara nuraninya. Ketika penegak hukum korup, yang rusak bukan hanya perkara. Yang rusak adalah kepercayaan.
Baca juga: Moderasi Finansial: Jalan Tengah Keuangan yang Beradab
Masyarakat mulai bertanya-tanya: untuk apa patuh hukum kalau hukum bisa dinegosiasikan? Untuk apa jujur kalau keadilan bisa dibeli?
Inilah bahaya paling serius dari korupsi penegak hukum. Ia tidak hanya mencuri uang negara, tetapi mencuri keyakinan warga bahwa negara ini masih bisa adil.
Maka respons kita tidak cukup hanya dengan setuju menangkap pelaku dan menggelar konferensi pers. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk membenahi sistem: yaitu membuka proses hukum ke wilayah publik, memperkuat pengawasan eksternal, melindungi pelapor, dan menata ulang pendidikan hukum agar etika kekuasaan tidak lagi menjadi pelajaran tambahan, tapi Pelajaran utama, Pelajaran inti.
Negara yang kuat bukan negara yang aparatnya tak pernah salah. Negara yang kuat adalah negara yang tidak takut mengakui kesalahan, lalu sungguh-sungguh memperbaikinya.
Dan di situlah, sesungguhnya, reformasi hukum diuji. Buka pada slogan, juga bukan pada pidato-pidatoan, tetapi pada keberanian.
Editor : Alim Perdana