Sejak Undang-Undang No. 14 Tahun 2025 disahkan, satu isu yang paling menarik perhatian saya sebagai akademisi kebijakan publik sekaligus bagian dari ekosistem penyelenggaraan umrah adalah pengaturan mengenai Umrah Mandiri.
Legalitas Umrah Mandiri memang tercantum dalam UU tersebut, tetapi ironisnya, legalitas itu muncul tanpa kejelasan norma, tanpa definisi, tanpa mekanisme, tanpa pengawasan, dan yang paling mengejutkan, tanpa kewajiban negara untuk memberikan perlindungan. Kondisi ini bukan hanya celah teknis, tetapi celah filosofis yang berbahaya.
UU No. 14 Tahun 2025 hanya menyebut Umrah Mandiri dalam konteks pengecualian perlindungan. Pasal 96 ayat (5) menyatakan bahwa jemaah mandiri tidak memperoleh perlindungan sebagaimana jemaah reguler.
Di sinilah letak kontradiksinya: negara membuka pintu, tetapi sekaligus menarik kembali tangannya untuk tidak bertanggung jawab. Ini menempatkan jemaah mandiri sebagai warga negara kelas dua dalam hal perlindungan hukum dan keamanan.
Mereka menjalankan ibadah yang sah secara agama, tetapi negara membedakan perlakuan perlindungan mereka semata karena cara mereka mengatur perjalanan.
Kekosongan yang dibiarkan oleh UU ini kemudian “ditambal” melalui terbitnya Peraturan Menteri Haji dan Umrah No. 4 Tahun 2025. Permen ini terbit dengan wajah yang sangat berbeda: tidak hanya detil, tetapi bahkan lebih lengkap daripada undang-undangnya sendiri.
Di Pasal 1 angka 3, Permen memperkenalkan definisi resmi Umrah Mandiri, sesuatu yang tidak ditemukan di UU. Lebih jauh, Permen merinci persyaratan layanan, mekanisme pendaftaran, verifikasi dokumen, penggunaan identitas elektronik, kewajiban laporan, bahkan prosedur perlindungan jemaah saat mengalami masalah di Arab Saudi atau negara transit.
Inilah paradoks paling menarik sekaligus paling bermasalah. UU tidak memberikan perlindungan kepada jemaah mandiri, tetapi Permen justru menegaskannya secara eksplisit.
Dalam Pasal 59, Permen menyatakan bahwa jemaah mandiri tetap mendapatkan perlindungan WNI di luar negeri, termasuk pendampingan oleh KBRI ketika menghadapi masalah dokumen perjalanan. Dengan kata lain, Permen memperluas hak jemaah yang ditutup oleh UU.
Secara moral dan administratif, langkah Permen ini dapat dipahami: negara memang seharusnya hadir untuk semua warganya. Namun secara hierarki hukum, Permen tidak boleh bertentangan dengan UU. Di sinilah titik benturan vertikal itu terjadi dengan sangat jelas.
Jika kita menggunakan kacamata teori kebijakan publik, yang terjadi pada relasi UU dan Permen ini adalah regulatory disharmony, ketidakselarasan yang menciptakan risiko implementasi. UU melegalkan tanpa mekanisme, sementara Permen memberikan mekanisme tanpa dasar legalitas normatif yang kuat.
Dalam istilah lain, UU membiarkan ruang kosong, Permen masuk terlalu dalam. Hasilnya adalah konfigurasi regulasi yang tidak hanya membingungkan, tetapi juga rentan digugat, baik melalui pembatalan peraturan menteri maupun judicial review atas undang-undang itu sendiri.
Permen 4/2025 sebenarnya memiliki niat baik. Mengatur mekanisme pendaftaran melalui Sistem Informasi Kementerian, menetapkan batas waktu tujuh hari sebelum keberangkatan, menerbitkan kartu identitas elektronik, dan menyusun prosedur verifikasi untuk memastikan bahwa jemaah mandiri tidak berangkat tanpa persiapan administratif yang memadai.
Bahkan Permen ini mengatur kewajiban laporan setelah jemaah tiba di Arab Saudi dan kembali ke Indonesia. Namun kebaikan administratif tidak serta-merta menghapus cacat normatif.
Segala bentuk pengaturan teknis yang diatur Permen ini seharusnya bertumpu pada delegasi kewenangan yang jelas dari UU. Namun UU tidak menyediakan delegasi tersebut.
Baca juga: Digitalisasi, Big Data Umat, dan Masa Depan Organisasi Modern
UU tidak memiliki pasal yang memberi ruang bagi Menteri untuk membuat definisi baru. UU tidak menyediakan ruang bagi Menteri untuk menetapkan mekanisme atau standar layanan. UU tidak memerintahkan Menteri untuk menetapkan prosedur perlindungan, karena perlindungan itu sendiri telah dikecualikan oleh UU.
Inilah mengapa Permen tampak bekerja sebagai “substitusi UU”, bukan sebagai aturan teknis pelaksanaannya. Dalam sistem peraturan perundang-undangan, kondisi seperti ini menimbulkan persoalan ultra vires, ketika sebuah peraturan menteri bergerak melebihi mandat undang-undangnya.
Sementara itu, perkembangan ekosistem digital Arab Saudi seperti Nusuk yang kini menjadi pusat layanan visa, transportasi, akomodasi, dan ibadah, sama sekali tidak disentuh oleh UU.
Permen mengatur seluruh prosedur yang pada praktiknya harus mengikuti sistem digital Arab Saudi, meskipun sistem ini tidak pernah disebut secara tersurat dalam permen.
Ini semakin mempertegas bahwa UU tertinggal secara substansi dan tidak responsif terhadap perubahan global penyelenggaraan umrah.
Pertanyaanya: apakah Umrah Mandiri dapat diatur secara aman dan berkelanjutan jika fondasi normatif utamanya (yaitu undang-undang) justru meninggalkan begitu banyak kewajiban negara?
Permen berupaya menutup lubang itu, tetapi karena posisinya berada di bawah undang-undang, ia tidak memiliki kekuatan permanen.
Bila suatu saat dibatalkan atau digugat, maka seluruh mekanisme perlindungan akan runtuh kembali kepada kekosongan yang dibiarkan oleh UU.
Baca juga: Lembah Tumpang, Takdir Kecil di Ujung Pekan
Inilah alasan mengapa judicial review menjadi relevan dan mendesak.
Pasal 96 ayat (5) perlu diuji dari sudut pandang hak konstitusional warga negara, asas perlindungan, serta kepastian hukum. Judicial review bukanlah upaya melemahkan pemerintah atau menolak inovasi, tetapi justru untuk menegakkan prinsip dasar bahwa seluruh WNI yang sedang menjalankan ibadah, dalam kondisi apa pun, tetap harus dilindungi negara secara penuh.
Pengaturan Umrah Mandiri seharusnya diperbaiki melalui harmonisasi regulasi yang sehat: norma dasar pada undang-undang, aturan hulu pada peraturan pemerintah, dan teknis administratif pada peraturan menteri.
Tanpa rekonstruksi sistemik seperti ini, kita hanya akan terus menambal celah demi celah, sementara jemaah tetap berada dalam ketidakpastian.
Ditulis Oleh: Ulul Albab
Ketua Litbang DPP AMPHURI
Editor : Amal Jaelani