Seri-8 Road to Silaknas ICMI 2025: Mengubah Bencana Menjadi Agenda Peradaban

Refleksi Banjir dan Longsor di Sumatera, Krisis Lingkungan, dan Tugas Intelektual Muslim di SILAKNAS ICMI 2025

ayojatim.com
Suasana bencana banjir. Foto: ilustrasi/Canva-Ayojatim

Banjir besar dan tanah longsor yang melanda Sumatera kembali membuka luka lama: bahwa negeri ini masih gagap mengelola alamnya sendiri. Hujan deras memang tak bisa dicegah, tapi skala kerusakan yang terjadi bukan sekadar persoalan cuaca. Ia adalah buah dari tata kelola ruang yang lemah, hutan yang terus menyusut, sungai yang kehilangan daya tampung, dan kebijakan pembangunan yang terlalu sering menomor duakan daya dukung ekologis.

Dalam teori kehutanan, ada prinsip sederhana, yaitu hutan adalah spons raksasa. Ia menyerap air, menyimpannya, lalu melepaskannya secara perlahan. Begitu spons itu hilang, air yang seharusnya ditahan akan meluncur tanpa kontrol ke pemukiman dan kebun warga.

Baca juga: Umrah Mandiri dan Kekacauan Regulasi Kita

"Longsor dan banjir hanyalah konsekuensi logis dari gunung yang badannya terus dikikis".

Perspektif lingkungan memberi penjelasan yang sama. Kerentanan makin parah ketika tutupan lahan turun di bawah ambang kritis 30 persen. Banyak daerah di Sumatera sudah lama melewati titik ini. Ekspansi kebun sawit, tambang, dan perumahan bergeser terlalu cepat, sementara rehabilitasi berjalan terlalu lambat.

Tetapi bencana ekologis selalu lebih dari sekadar rumus ilmiah. Ia menyentuh lapisan sosial terdalam. Rumah yang hilang, anak yang terpisah dari keluarga, mata pencaharian yang lenyap dalam semalam. Di titik ini, kita teringat sebuah perintah dalam Islam.

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56).

Ayat yang sama menegaskan relasi antara manusia dan bumi bukan relasi eksploitasi, melainkan amanah. Kita diberi kuasa, tapi juga diberi batas.

Islam mengajarkan dua sikap sekaligus yaitu bagaimana menerima musibah dengan kesabaran, namun mencegah kerusakan dengan ikhtiar. Sabar bukan alasan untuk diam. Ikhtiar bukan dalih untuk sombong. Keduanya harus berjalan dalam keseimbangan.

Di tengah musibah ini, muncul pertanyaan penting: apa peran negara?

Pertama, negara adalah pemegang otoritas tata ruang. Ia yang menyetujui izin, menentukan batas, mengatur konservasi, dan mengawasi penegakan hukum. Maka negara memiliki tanggung jawab langsung atas kualitas ekologi nasional. Tidak cukup hanya menyalurkan bantuan logistik; yang diperlukan adalah koreksi kebijakan yang komprehensif, dari hulu hingga hilir.

Kedua, negara harus mengambil pendekatan “build back better”, membangun kembali dengan lebih cerdas. Infrastruktur tangguh bencana, early warning system, dan kapasitas mitigasi harus naik kelas. Bencana bukan lagi kejadian musiman. Ia kini berulang, meluas, dan sering tak terduga.

Namun negara tidak bisa bekerja sendirian, karena bencana ekologis adalah urusan publik. Ia membutuhkan kolaborasi masyarakat sipil, akademisi, ilmuwan kehutanan, pemuka agama, dan organisasi modern seperti ICMI.

Di sinilah relevansi SILAKNAS ICMI 2025 di Bali menemukan momentumnya.

SILAKNAS adalah ruang strategis untuk merumuskan gagasan besar, gagasan yang dapat menyentuh langsung nadi persoalan bangsa.

Musibah banjir dan longsor di Sumatera harus menjadi isu utama dan bukan sekadar catatan pinggir. Ada beberapa alasan kuat kenapa itu harus menjadi isu utama untuk di bahas.

ICMI adalah rumah besar intelektual Muslim, dengan jejaring kuat di universitas, pesantren, birokrasi, dan kelompok profesi. Artinya, ICMI memiliki modal pengetahuan untuk menyusun solusi ilmiah yang dapat dioperasionalisasikan.

Baca juga: Pemkot Surabaya Buka Posko Peduli Bencana untuk Korban Banjir-Longsor di Sumatera

Isu lingkungan adalah isu peradaban. Ia menyentuh masa depan umat manusia, bukan sekadar wilayah atau provinsi tertentu. Karena itu harus diletakkan pada posisi strategis dalam agenda bangsa.

SILAKNAS adalah kesempatan untuk berbicara langsung kepada pemerintah pusat. Kehadiran tokoh nasional dan pejabat negara memberi ruang bagi ICMI untuk memengaruhi arah kebijakan.

Tragedi ekologis membutuhkan respon yang lebih cerdas dari sekadar bantuan darurat. ICMI dapat mendorong desain kebijakan yang berbasis data, riset, dan etika ekologis Islam.

Apa kontribusi konkret yang dapat diberikan ICMI?

Pertama, merumuskan kerangka kebijakan nasional tentang konservasi dan mitigasi berbasis pengetahuan. ICMI bisa mengkoordinasikan para ahli kehutanan, hidrologi, geologi, dan lingkungan untuk menyusun blueprint tata kelola ekologis Indonesia lima hingga sepuluh tahun ke depan.

Kedua, mengembangkan “Indeks Kesiapan Ekologi Daerah” yang dapat digunakan pemerintah pusat dan daerah untuk memetakan titik rawan kerusakan dan mengukur kualitas mitigasi bencana.

Ketiga, mengusulkan program literasi ekologi berbasis keislaman, memadukan ajaran agama dengan ilmu lingkungan modern. Program ini bisa menyasar masjid, pesantren, dan sekolah, membangun kesadaran sejak dini bahwa merawat bumi adalah bagian dari ibadah.

Keempat, mendorong reformasi kebijakan izin konsesi, memastikan bahwa kepentingan ekologis dan sosial tidak dikalahkan oleh tekanan ekonomi jangka pendek. ICMI dapat menjadi mitra kritis pemerintah dalam meninjau ulang wilayah yang kehilangan tutupan hutan terlalu cepat.

Baca juga: Digitalisasi, Big Data Umat, dan Masa Depan Organisasi Modern

Kelima, membangun kolaborasi riset antara akademisi dan pemerintah untuk penguatan early warning system dan pemetaan potensi bencana yang lebih presisi.

Namun yang paling penting adalah pesan moralnya: bahwa bencana dan musibah bukan hanya peringatan, tetapi momentum untuk memperbaiki peradaban.

Jika ICMI ingin relevan di mata umat dan negara, inilah saatnya hadir bukan hanya sebagai pengumpul donasi untuk korban bencana dan musibah, tetapi sebagai perumus jalan keluar. Sebab, bangsa yang besar bukan bangsa tanpa bencana.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang belajar, memperbaiki, dan bangkit setiap kali diuji oleh alamnya sendiri.

Dotulis Oleh: Ulul Albab

Ketua ICMI Jawa Timur

 

Editor : Amal Jaelani

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru