SURABAYA - Ilmu, betapapun luasnya akan kehilangan ruh jika tidak disertai adab dan ketundukan hati terhadap para pembawa cahaya pengetahuan, yakni para guru.
Nilai inilah yang kembali ditegaskan oleh Anggota DPD RI Komite III, Lia Istifhama, pada momentum Hari Guru Nasional 2025.
Baca juga: Senator Lia Istifhama Ucapkan Selamat Milad Muhammadiyah ke-113
Senator asal Jatim yang akrab disapa Ning Lia itu mengatakan, keberkahan ilmu bukan hanya buah kerja keras akademik, melainkan juga restu dan keridaan guru sebuah konsep klasik yang terus diwariskan dalam tradisi pesantren.
Ia mencontohkan kisah sang ayah, KH Masykur Hasyim, yang pernah mendapatkan restu Kiai Kholili saat hendak pindah belajar ke Tambakberas.
Dalam narasi itu, restu guru tak sekadar simbol, melainkan fondasi spiritual perjalanan ilmu. Bahkan, hadis Nabi menyebut para malaikat meletakkan sayapnya bagi penuntut ilmu sebagai bentuk keridlaan.
“Spirit seperti inilah yang seharusnya menjadi pondasi pendidikan nasional: adab, penghormatan kepada guru, dan perlindungan terhadap profesi pendidik,” kata Ning Lia, Senin (24/11/2025) malam.
Selama satu tahun masa pengabdian sebagai senator Jawa Timur, isu-isu terkait guru menjadi salah satu fokus perjuangan Ning Lia.
Dalam pembahasan revisi UU Sisdiknas awal 2025, ia menegaskan bahwa perombakan regulasi tidak boleh bersifat kosmetik, tetapi harus menyentuh problem struktural di lapangan.
Menurut Ning Lia, masih banyak guru yang berada dalam posisi rentan.
Di satu sisi mereka dituntut mencetak generasi unggul, namun di sisi lain menghadapi ancaman kriminalisasi akibat kesalahan administratif maupun miskomunikasi dalam proses pembelajaran.
“Guru seharusnya fokus mendidik, bukan hidup dalam ketakutan karena laporan administratif. Saya sendiri pernah kehilangan 10 bulan tunjangan profesi saat mengajar di masa Covid. Sistemnya harus diperbaiki,” kata Doktor Manajemen Ekonomi Islam (MEI) UINSA tersebut.
Administrasi berlebihan juga menjadi beban bagi para guru. Bagi Ning Lia, birokratisasi pendidikan yang tidak proporsional justru menjauhkan guru dari esensi tugasnya yakni membimbing perkembangan kognitif, emosional, dan karakter siswa.
“Banyak pendidik terjebak laporan, bukan pengasuhan intelektual,” tambah perempuan yang beberapa waktu lalu mendapat DetikJatim Awards 2025 tersebut.
Baca juga: Komite III DPD RI Dorong Penguatan Perlindungan Konsumen di Sorong, Papua Barat Daya
Salah satu advokasi utama Ning Lia adalah penguatan pendidikan inklusi.
Perempuan yang akrab disapa Senator Jatim itu mendorong agar sekolah inklusi mendapat BOS khusus, sehingga layanan bagi anak-anak berkebutuhan khusus tidak bergantung pada ketersediaan dana internal sekolah.
Dalam perspektifnya, inklusi bukan sekadar kebijakan teknis, tetapi pijakan moral sebuah bangsa.
Indonesia Emas 2045 tidak akan tercapai jika negara gagal memberi akses pendidikan berkualitas bagi seluruh anak, tanpa kecuali.
“Keberhasilan sebuah bangsa ditentukan oleh kemampuannya memberi ruang bagi semua anak. Inklusi adalah komitmen peradaban,” ungkap Wakil Rakyat Terpopuler dan Paling Disukai Masyarakat Jatim versi ARCI 2025 itu.
Di samping itu, Ning Lia juga mendorong penerapan zonasi penempatan guru, agar pendidik dapat mengajar di wilayah yang dekat dengan tempat tinggalnya.
Selain menekan risiko kecelakaan akibat jarak perjalanan yang jauh, zonasi memungkinkan guru membangun hubungan yang lebih organik dengan lingkungan sosial siswa.
Baca juga: Terima Penghargaan DetikJatim Awards 2025, Ini Komitmen Senator Lia Istifhama
Kebijakan ini, menurutnya, adalah wujud nyata dari paradigma pendidikan yang humanis, menempatkan guru bukan sebagai operator sistem, tetapi sebagai manusia yang juga membutuhkan keselamatan, keseimbangan hidup, dan ruang pengabdian yang wajar.
Ning Lia kembali mengangkat pesan para ulama bahwa ilmu sejatinya ditransfer melalui hubungan batin melalui keteladanan, kasih sayang, dan adab antara murid dan guru.
“Bagaimana mungkin kita merasa semakin berilmu, tetapi makin lupa menundukkan kepala? Ilmu itu cahaya. Tidak ada ruang kosong selama ilmu dan adab mengisinya. Pesan tersebut menjadi landasan intelektual dan spiritual bagi perjuangannya,” jelas Putri KH Masykur Hasyim tersebut.
Bagi Ning Lia, Hari Guru tidak boleh dipahami hanya sebagai momentum seremoni. Ia adalah momen evaluasi peradaban.
Momen untuk mengingat kembali pentingnya taat kepada guru, memastikan perlindungan hukum bagi pendidik, memperkuat pendidikan inklusi hingga zonasi guru demi keselamatan serta efektivitas pengabdian.
“Saya berharap Indonesia sungguh-sungguh menjadi bangsa yang menempatkan guru tidak hanya sebagai profesi, tetapi sebagai pilar peradaban. Sebab dari tangan gurulah lahir generasi Indonesia Emas: generasi berpengetahuan, beradab, dan berkarakter,” pungkas Lia.
Editor : Diday Rosadi