Menteri, Akademisi, dan Pertarungan Legitimasi

ayojatim.com

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

POLEMIK antara Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini, beberapa hari terakhir ini menunjukkan sesuatu yang lebih dalam ketimbang sekadar silang pendapat personal. Kontroversi itu membuka ruang refleksi tentang legitimasi: “legitimasi politik dan legitimasi akademik-profesional”.

Baca juga: Spanyol, Palestina, dan Inspirasi bagi Indonesia

Kita semua tahu, Didik J. Rachbini, seorang akademisi senior yang dikenal kritis, mempertanyakan rekam jejak Menkeu Purbaya. Menurutnya, jabatan strategis pengelola fiskal negara tidak cukup diisi oleh seseorang yang sekadar memiliki pengalaman birokrasi. Dibutuhkan latar belakang akademik yang kuat di bidang keuangan publik, disertai rekam jejak riset dan kontribusi kebijakan yang nyata. Dalam bahasa Didik, “kebijakan fiskal adalah urusan besar negara.”

Purbaya Yudhi Sadewa tidak tinggal diam. Ia balik menegaskan bahwa kritik itu tidak berdasar. “Pak Didik harus belajar. Jangan mengkritik tanpa data. Saya sudah puluhan tahun menekuni ekonomi, termasuk kebijakan fiskal dan moneter,” ujarnya dalam sebuah wawancara.

Purbaya menekankan pengalamannya, yaitu: Deputi Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan, Deputi Menko Perekonomian, hingga Kepala Eksekutif LPS. Baginya, jabatan-jabatan itu adalah bukti keterlibatan langsung dalam mengelola kebijakan keuangan negara.

Dua pandangan ini sama-sama menarik. Dari sisi hukum, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dengan jelas menyatakan bahwa menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Hak prerogatif Presiden mutlak, tanpa prasyarat akademik atau profesi tertentu. Maka, secara legal, tidak ada masalah dengan pengangkatan Purbaya.

Namun, jika menilik Undang-Undang Keuangan Negara (UU No. 17 Tahun 2003), tampak betapa strategisnya posisi Menkeu. Pasal 6 menegaskan: “Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal bertanggung jawab atas kebijakan fiskal dan pengelolaan keuangan negara.” Tanggung jawab ini tidak ringan. Ia menyangkut kredibilitas APBN, stabilitas ekonomi makro, hingga kesejahteraan rakyat.

Dari titik inilah kritik Didik menemukan relevansi: bahwa jabatan seberat itu idealnya ditopang oleh fondasi akademis dan profesional yang mumpuni. Di sinilah kita menyaksikan pertarungan dua legitimasi.

Pertama, legitimasi politik yang bersumber dari hak prerogatif Presiden. Presiden Prabowo Subianto memiliki hak penuh untuk menunjuk siapa pun yang dianggap tepat. Kedua, legitimasi akademik-profesional yang lahir dari kualitas keilmuan, rekam jejak penelitian, dan pengalaman teknokratis yang teruji. Dua legitimasi ini seringkali tidak bertemu.

Baca juga: PURBAYA, NEW HOPE PEREKONOMIAN INDONESIA ?

Polemik Menkeu Purbaya dan Didik sesungguhnya bukan yang pertama. Kita masih ingat ketika beberapa jabatan menteri di periode lalu juga menuai tanda tanya dari kalangan akademisi dan profesional. Pertanyaannya sederhana: apakah politik bisa berjalan tanpa memperhatikan standar akademik dan profesional? Atau sebaliknya, apakah standar akademik bisa sepenuhnya menjadi ukuran dalam ruang politik yang serba kompleks?

Bagi kita, rakyat, yang paling penting sebenarnya bukan soal siapa yang lebih benar dalam polemik ini, tapi yang penting adalah hasil kerja nyata. Apakah Menkeu baru ini sanggup menjaga defisit anggaran tetap terkendali? Apakah utang negara dikelola dengan bijak? Apakah APBN benar-benar berpihak pada rakyat kecil?

Kritik Didik adalah pengingat. Bahwa menteri bukan sekadar pejabat politik, tetapi pengelola amanah publik. Purbaya menjawab dengan menekankan rekam jejak pengalamannya. Kini, ruang debat sesungguhnya bukan lagi di meja debat, tetapi di mata rakyat.

Ada beberapa hal yang masih belum jelas. Pertama, bagaimana sebenarnya rekam jejak akademis Purbaya dalam kontribusi riset fiskal? Data publik menunjukkan latar belakangnya lebih banyak pada riset ekonomi pasar dan stabilitas keuangan. Kedua, sejauh mana pengalaman di LPS dapat dikatakan ekuivalen dengan pengelolaan fiskal negara? Ketiga, apa pandangan asosiasi ekonomi dan komunitas akademik tentang kapabilitas Menkeu baru ini?

Pertanyaan-pertanyaan itu perlu segera dijawab agar polemik tidak sekadar berhenti pada adu kata. Transparansi riwayat akademis dan capaian kebijakan adalah salah satu cara menjernihkan ruang publik.

Baca juga: Kenapa Doa Makan Bicara Neraka?

Di atas semua itu, kita perlu melihat kembali hakikat demokrasi. Presiden berhak memilih pembantunya, dan publik berhak mengkritiknya. Kritik Didik adalah bagian dari ekosistem demokrasi. Jawaban Purbaya pun sah sebagai pembelaan diri. Yang terpenting, polemik ini jangan terjebak dalam ranah personal.

Kita perlu menggeser energi dari perdebatan personal menuju kerja institusional. Tugas besar di depan mata tidak kecil: menjaga stabilitas fiskal di tengah ancaman perlambatan ekonomi global, mengendalikan utang, dan memastikan belanja negara benar-benar produktif.

Akhirnya, kita semua rakyat menunggu pembuktian. Legitimasi politik memberi jalan, tetapi legitimasi akademik dan profesionallah yang akan memastikan arah perjalanan kebijakan. Jika keduanya bisa disatukan, maka kritik dan jawaban akan berhenti menjadi polemik, dan berubah menjadi energi positif untuk negeri.

 

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru