Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
DI penghujung 2025, setelah menelaah sektor-sektor ekonomi, sosial, dan kesejahteraan, ICMI Jawa Timur melanjutkan publikasi berseri hasil kajiannya pada sektor yang kian strategis namun kerap dipinggirkan dalam diskursus pembangunan daerah, yaitu: lingkungan hidup, energi, dan transisi hijau.
Seri ini disusun untuk memberi ruang refleksi publik, berbasis data, tentang sejauh mana Jawa Timur tidak hanya tumbuh, tetapi juga bertahan secara ekologis di tengah tekanan pembangunan nasional.
Secara nasional, Indonesia sedang berada di persimpangan penting. Target net zero emission 2060, percepatan energi baru terbarukan (EBT), serta penguatan ekonomi hijau telah masuk dokumen kebijakan negara.
Pertanyaannya: sebagai provinsi industri terbesar kedua di Indonesia, sejauh mana Jawa Timur siap dan mampu menerjemahkan ambisi nasional itu menjadi praktik nyata di daerah?
Tekanan Lingkungan di Provinsi Industri
Data Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) menunjukkan bahwa posisi Jawa Timur berada pada kategori sedang, dan cenderung di bawah rata-rata nasional. Komponen kualitas udara, air, dan tutupan lahan masih menghadapi tekanan serius, terutama di wilayah dengan konsentrasi industri tinggi dan kepadatan penduduk besar.
Kabupaten/kota di kawasan Gerbangkertosusila menjadi contoh klasik dilema, yaitu: menjadi mesin pertumbuhan ekonomi sekaligus titik rawan degradasi lingkungan. (Sumber: KLHK; BPS)
Pada saat yang sama, alih fungsi lahan untuk industri, perumahan, dan infrastruktur terus terjadi. Meski memberikan dorongan ekonomi jangka pendek, pola ini berpotensi meningkatkan risiko bencana ekologis: banjir, penurunan muka tanah, dan krisis air, yang biaya sosialnya jauh lebih mahal dalam jangka menengah dan panjang.
Energi: Ketergantungan Fosil Masih Dominan
Di sektor energi, Jawa Timur tetap menjadi salah satu konsumen energi fosil terbesar di Indonesia, seiring dengan dominasi industri pengolahan dan transportasi.
Meski pemerintah daerah telah mulai mendorong pembangkit EBT (surya, bioenergi, dan panas bumi skala kecil), kontribusi EBT dalam bauran energi daerah masih terbatas.
Angkanya belum menyentuh target ideal nasional, yang dalam berbagai dokumen perencanaan dipatok di kisaran dua digit persentase. (Sumber: Kementerian ESDM; RUED Jatim)
Kondisi ini menempatkan Jawa Timur dalam posisi paradoks, yaitu: menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi sekaligus berisiko tertinggal dalam agenda transisi energi, jika tidak ada akselerasi kebijakan yang lebih progresif.
Tantangan Tata Kelola Transisi Hijau
Masalah utama transisi hijau di tingkat daerah bukan hanya soal niat, tetapi kapasitas tata kelola. Banyak kebijakan lingkungan berhenti pada regulasi, belum sepenuhnya menjadi insentif ekonomi.
Skema pendanaan hijau daerah, penguatan green budgeting, serta integrasi target lingkungan ke dalam perencanaan industri dan investasi masih bersifat parsial.
Padahal secara nasional, pemerintah pusat telah membuka ruang melalui berbagai instrumen, yaitu: pendanaan hijau, pasar karbon, hingga insentif EBT. Di sinilah tantangan Jawa Timur: apakah siap memanfaatkan instrumen nasional itu secara maksimal, atau hanya menjadi penonton?
Komparasi Nasional–Jawa Timur (Indikator Terpilih)
Berikut ringkasan indikator kunci yang digunakan ICMI Jawa Timur dalam melakukan penilaian sektor ini:
Hasil Penilaian ICMI Jatim untuk Sektor 6 ini adalah Kategori: CUKUP (dengan catatan strategis). Alasan utamanya adalah:
1. Komitmen kebijakan mulai terlihat, namun hasil lingkungan belum sebanding dengan skala ekonomi Jawa Timur.
2. Ketergantungan energi fosil masih kuat, sementara adopsi EBT belum dipercepat secara signifikan.
3. Transisi hijau belum sepenuhnya menjadi bagian inti strategi investasi dan industri daerah.
Catatan Kritis dan Rekomendasi ICMI Jatim
ICMI Jawa Timur memandang sektor ini sebagai penentu keberlanjutan sektor-sektor lain. Oleh karena itu, kami merekomendasikan:
1. Akselerasi EBT skala daerah, khususnya energi surya industri dan bioenergi berbasis pertanian.
2. Integrasi ketat antara kebijakan lingkungan dan perizinan investasi—no green commitment, no fast track.
3. Penguatan green budgeting dan pemanfaatan instrumen pembiayaan hijau nasional.
4. Transparansi data lingkungan sebagai kontrol publik dan pencegahan risiko jangka panjang.
Penutup
Perlu diingatkan bahwa “Transisi Hijau” bukan beban pembangunan, tapi syarat agar pembangunan Jawa Timur tidak rapuh. Angka pertumbuhan boleh tinggi, tetapi tanpa fondasi ekologi yang kuat, ia akan mudah runtuh oleh krisis lingkungan.
Pada 2025 menuju 2026, Jawa Timur memiliki pilihan penting: tetap menjadi provinsi besar yang boros sumber daya, atau bertransformasi menjadi provinsi industri yang cerdas, hijau, dan berkelanjutan. ICMI Jawa Timur percaya, pilihan kedua bukan hanya mungkin, tetapi mendesak.
Editor : Alim Perdana