Dalam pengalaman bekerja di bidang kerjasama dan humas kampus, saya belajar bahwa salah satu fungsi terpenting kehumasan adalah mendampingi pejabat agar berhati-hati dalam berbicara di depan publik. Situasi wawancara, terutama doorstop interview yang spontan, kerap menjadi momen rawan. Satu kalimat yang salah ucap dapat berimplikasi besar, bukan hanya bagi karier pribadi pejabat, tetapi juga terhadap citra dan nasib lembaga yang diwakilinya.
Kasus demi kasus telah membuktikan hal ini. Pernyataan anggota legislatif Sahroni, misalnya, sempat memicu demonstrasi yang berujung kerusuhan. Baru-baru ini, pernyataan Menteri Keuangan yang baru, Purbaya Yudhi Sadewa, juga menimbulkan sorotan dan kontroversi. Dari sini, terlihat betapa pentingnya kehati-hatian: lebih baik diam daripada berbicara yang salah, sebab pejabat publik berada pada posisi di mana setiap kata dan gestur akan disorot, ditafsirkan, bahkan bisa dipelintir oleh masyarakat maupun media. Banyak pejabat yang bicara dulu, dipikir belakangan.
Baca juga: Sri Mulyani: Kecerdasan, Integritas dan Perempuan dalam Pusaran Kekuasaan
Disinilah peran humas menjadi krusial. Tugas humas bukan hanya menyusun rilis atau mengatur acara, melainkan juga memberikan edukasi dan pendampingan komunikasi kepada pejabat. Beberapa poin penting yang perlu ditegaskan antara lain:
1. Hemat Bicara – sampaikan yang penting saja, sesuai konteks, tanpa perlu melebar pada isu yang tidak relevan.
2. Bedakan Peran – ketika seseorang sudah menjabat, ia tidak bisa lagi bebas berkomentar layaknya pengamat atau akademisi; setiap ucapannya punya bobot politik dan implikasi publik.
Baca juga: Ngobrol Aja Gak Cukup, Yuk Pahami Seni Berkomunikasi!
3. Pendampingan Teknis – jubir atau asisten humas perlu siap mengambil alih ketika ada wawancara mendadak, serta menyiapkan exit strategy jika pejabat tidak ingin atau belum siap memberikan tanggapan.
Dengan strategi komunikasi seperti ini, pejabat dapat lebih terlindungi dari risiko salah bicara, dan lembaga tetap terjaga reputasinya.
Pada akhirnya, humas yang profesional bukan hanya penjaga image, tetapi juga penuntun komunikasi bagi para pengambil kebijakan agar suara yang keluar selalu terarah, proporsional, dan konstruktif.
Penulis : Achmad Choiron
Pemerhati Sosial - Dosen Teknik Informatika Universitas Dr. Soetomo Surabaya
Editor : Amal Jaelani