Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
GELOMBANG unjuk rasa mahasiswa, buruh, dan kelompok masyarakat pada rentang 25–31 Agustus 2025 menjadi cermin besar bagi bangsa ini. Aksi yang semula diniatkan sebagai saluran aspirasi, dalam waktu singkat berubah rupa menjadi kerusuhan di sejumlah kota.
Baca juga: Membaca Gonjang-Ganjing Politik Indonesia
Luka sosial tertinggal, bahkan korban jiwa tak terhindarkan, di saat bangsa seharusnya bersatu menata energi menghadapi tantangan global.
Sejarah mengajarkan bahwa bangsa besar bukanlah yang bebas dari ujian, tetapi bangsa yang mampu mengambil hikmah dari setiap ujian. Bung Karno pernah berpesan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah.”
Maka, akhir Agustus 2025 jangan hanya menjadi catatan politik dalam kalender. Harus kita jadikan sebagai panggilan bagi kita semua untuk berefleksi: apakah kita sudah bernegara dengan akhlaq, atau justru masih mudah terseret kepentingan sesaat yang berbuah kekerasan?
Belajar dari Pengalaman Bangsa Lain
Kerusuhan bukanlah fenomena khas Indonesia. Dunia pernah menyaksikan Hong Kong pada 2019, bergolak berbulan-bulan akibat RUU ekstradisi. Konflik berlarut, luka sosial dalam, dan ekonomi terpukul. Porak poranda. Dan tak boleh dicontoh Indonesia.
Tapi kita bisa menyontoh yang dialami oleh Islandia. Islandia pada 2008 mengalami krisis finansial besar. Warga marah, kecewa, menuntut perubahan. Mereka turun ke jalan. Akan tetapi, aparat memilih pendekatan humanis, tanpa peluru, tanpa kekerasan. Pemerintah membuka telinga, memberi ruang dialog, bahkan merombak konstitusi.
Aspirasi dikelola dengan kebijaksanaan, bukan represi. Dan akhirnya semua berakhir dengan menggembirakan semua pihak.
Dua cermin ini memberi pelajaran: aspirasi rakyat bisa menjadi jalan menuju kedewasaan demokrasi bila dikelola dengan keterbukaan. Tetapi sebaliknya ia bisa menjelma menjadi bencana bila dijawab dengan emosi.
Hikmah dalam Perspektif Islam
Sebagai seorang Muslim, saya meyakini bahwa kehidupan bernegara harus dituntun akhlaq. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Ahmad).
Bernegara dengan akhlaq berarti menjaga agar setiap tindakan membawa maslahat, bukan mudarat. Siapapun kita, apapun profesi dan peran kita.
Al-Qur’an menegaskan: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan.” (QS. An-Nahl: 90). Ayat ini perlu dijadikan prinsip dasar kehidupan berbangsa, yaitu: adil, berbuat baik, dan menghindari permusuhan.
Introspeksi untuk Semua
Baca juga: Begini Kira-kira Ongkos Kerusuhan yang Harus Kita Tanggung
Dalam peristiwa di akhir Agustus kemaren, rakyat menyalurkan aspirasi dengan demonstrasi. Itu hak yang sah, dijamin konstitusi. Namun, ketika aksi berubah menjadi anarkis, ketika fasilitas umum dirusak, ketika nyawa melayang, di situ akhlaq kebangsaan kita dipertanyakan.
Aparat negara pun memiliki kewajiban menghadirkan keamanan. Tapi keamanan sejati lahir dari pendekatan yang proporsional, humanis, dan persuasif. Sementara elit politik perlu berhenti menjadikan gejolak rakyat sebagai panggung kepentingan. Rakyat bukan pion untuk permainan kuasa.
Presiden dan pemerintah, pada gilirannya, wajib membuka ruang dialog tulus. Mendengar, merespons, memberi jawaban nyata, bukan hanya menebar janji.
Rekomendasi Konstruktif
Dari refleksi ini, ada beberapa langkah yang harus segera diambil:
1. Usut Penunggang Gelap. Aksi murni rakyat tidak boleh dibajak oleh kepentingan sempit. Negara harus berani mengungkap siapa saja yang menunggangi.
2. Perkuat Kanal Aspirasi. DPR dan pemerintah wajib menyediakan saluran komunikasi publik yang cepat, transparan, dan responsif. Jangan biarkan jalan raya menjadi satu-satunya forum aspirasi.
3. Polisi Humanis. Aparat perlu meneladani pendekatan non-kekerasan yang terbukti efektif di banyak negara. Luka akibat senjata jauh lebih lama sembuhnya daripada luka karena kata-kata.
Baca juga: Membaca Kejanggalan dalam Gelombang Aksi Massal Agustus 2025
4. Edukasi Publik. Kampus, ormas, dan lembaga keagamaan harus aktif mendidik literasi politik. Aspirasi bisa disampaikan dengan cara elegan, bukan sekadar teriakan di jalan.
5. Akhlaq dalam Bernegara. Semua pihak—rakyat, elit, dan pemimpin—harus menjadikan akhlaqul karimah sebagai fondasi bernegara. Tanpa akhlaq, demokrasi hanya akan jadi permainan kosong.
Penutup
Peristiwa 25–31 Agustus 2025 harus menjadi cermin bersama. Tidak boleh ada pihak yang hanya menuding. Tidak boleh ada yang merasa paling benar. Kita semua—dari rakyat kecil hingga Presiden—harus menundukkan kepala, bertanya pada diri masing-masing: apakah hak dan kewajiban bernegara sudah ditunaikan dengan akhlaq?
Kini kita berada di bulan Rabi’ul Awal, bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Momentum yang indah untuk menata kembali niat, menegakkan akhlaq, dan memperbaiki cara berbangsa.
Mari kita jadikan peristiwa ini sebagai doa sekaligus tekad: agar Indonesia tetap terjaga, menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur—negeri yang baik, sejahtera, dan senantiasa dalam ampunan Allah.
Editor : Alim Perdana