Oleh: Ulul Albab
Ketua Bidang Litbang Amphuri
WACANA legalisasi umrah mandiri—di mana jamaah bisa mengurus keberangkatan sendiri tanpa melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU)—saat ini menjadi isu strategis terutama karena sebentar lagi akan dibahas oleh Pemerintah dan DPR menjadi ketentuan UU baru.
Baca juga: Mematahkan Logika “Karena Saudi Buka Nusuk Maka Kita Legalkan Mandiri/Backpacker”
Bagi sebagian orang, ide ini mungkin tampak segar bahkan merupakan terobosan maju, responsive dengan perubahan kebijakan Saudi yang memang semakin liberal, bahkan dianggap solusi atas biaya umrah yang relatif tinggi.
Namun, bila dicermati lebih dalam, dengan memposisikan diri sebagai warga negara yang berdaulat, apalagi sebagai negarawan, maka kita akan mengetahui betapa legalisasi umroh mandiri itu dampaknya bisa jauh lebih rumit dan berbahaya. Coba renungkan dengan pikiran jernih argument yang saya kemukakan berikut ini:
Pertama, dimensi perlindungan jamaah. Fakta menunjukkan, setiap kelonggaran aturan dalam penyelenggaraan ibadah sering kali berujung pada masalah serius.
Data Kementerian Agama mencatat, puluhan ribu jamaah umrah pernah terlantar di Arab Saudi akibat penyelenggara tidak bertanggung jawab.
Itu pun ketika mereka masih berada dalam sistem PPIU yang berizin. Apalagi bila umrah mandiri dilegalkan, potensi jamaah tersesat, gagal berangkat, hingga kehilangan hak perlindungan hukum akan semakin besar.
Kedua, dimensi tata kelola negara. Ibadah haji dan umrah adalah pelayanan publik yang sangat sensitif. Di sinilah negara perlu hadir melalui regulasi yang bahkan harus lebih ketat, bukan hanya mengatur soal administrasi, tapi juga soal diplomasi dengan pemerintah Arab Saudi, pengaturan kuota, hingga koordinasi fasilitas layanan.
Legalisasi umrah mandiri tanpa aturan ketat akan mencabut peran penting negara dalam mengawasi penyelenggaraan ibadah, dan justru malah berpotensi memunculkan ruang gelap yang rawan penyalahgunaan. Percayalah!
Ketiga, dimensi sosial-keagamaan. Umrah bukan perjalanan wisata biasa. Tapi ibadah yang menyangkut syiar Islam, ada fenomena kebersamaan umat, dan kepercayaan jamaah kepada penyelenggara Muslim yang amanah.
Dengan sistem PPIU, ada jaringan bimbingan, edukasi, hingga pembinaan ibadah yang terjaga. Tapi Legalisasi umrah mandiri tanpa aturan ketat bisa mengikis nilai ini, menjadikan umrah hanya sebatas “transaksi perjalanan,” dan kehilangan ruh keagamaannya.
Dan jangan kaget, masih ada hal yang lebih menakutkan dari tiga dimensi di atas. Apa itu? yaitu: potensi tercerabutnya bisnis dan industri umrah dari tangan pengusaha Muslim. Kita sudah melihat contoh konkret di sektor lain.
Baca juga: Komisi VIII DPR Pastikan Umrah Mandiri Tak Akan Dilarang
Gojek, yang lahir dari pangkalan ojek, kini telah menggeser sepenuhnya ekosistem transportasi jalanan ke ranah aplikasi digital. Platform belanja daring seperti Shopee telah menggeser banyak UMKM konvensional. Fenomena serupa bisa saja terjadi di industri umrah. Betul nggak?!
Jika umrah mandiri dilegalkan tanpa aturan ketat, sangat mungkin jamaah diarahkan ke aplikasi-aplikasi digital yang dikendalikan pemodal besar. Bisa jadi, pemodal tersebut bukan dari kalangan Muslim.
Akibatnya, perputaran ekonomi ibadah—yang selama ini dikelola pengusaha Muslim lokal melalui PPIU—akan berpindah tangan ke korporasi besar.
Dalam jangka panjang, industri umrah bisa tercerabut dari basis umat, dan ini bukan cuma soal bisnis, tapi soal kedaulatan ekonomi umat Islam. Terjajah menjadi “budak” bukan karena serangan hebat dari luar, tapi karena keteledoran pengambil kebijakan yang tidak memilik semangat dan marwah kenegarawanan.
Di titik ini, kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah negara rela melihat ibadah umat berubah menjadi komoditas industri digital yang dikendalikan asing?
Apakah kita akan membiarkan jamaah Muslim Indonesia kehilangan perlindungan? Apakah kita memang ingin kehilangan pengusaha Muslim yang selama ini menghidupi industri perjalanan ibadah umroh dan digantikan oleh pengusaha non-muslim? Silehkan direnungkan!!!
Baca juga: Menata Regulasi Kuota Tambahan Haji, Masukan Untuk RUU Haji & Umroh
Sebagai bangsa dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia seharusnya justru memperkuat peran PPIU, bukan melemahkannya. Jalan tengah jika memang mau relevan dengan perkembangan Arab Saudi yang semakin liberal itu sesungguhnya terbuka lebar.
Dengan cara apa? Dengan cara, misalnya: meningkatkan transparansi biaya yang dikenakan oleh PPIU, mengoptimalkan digitalisasi layanan PPIU, serta memperkuat regulasi agar biaya lebih terjangkau tanpa mengorbankan perlindungan jamaah. Dan sepertinya ini sebagian besar sudah diatur dalam ketentuan UU No.8 Tahun 2019.
Karena itu, legalisasi umrah mandiri bukanlah solusi. Tapi justru membuka risiko baru, yaitu: kerentanan jamaah, hilangnya kontrol negara, terkikisnya nilai keagamaan, dan terancamnya kedaulatan ekonomi umat. Ibadah suci ini terlalu penting untuk dibiarkan jatuh ke dalam pusaran logika pasar bebas.
Andai umrah mandiri benar-benar dilegalkan, maka bukan saja jamaah yang dirugikan, tapi juga umat Islam secara keseluruhan. Kita akan menyaksikan bagaimana sebuah ibadah suci berubah menjadi “pasar digital” yang dikendalikan pihak-pihak yang mungkin tak pernah sujud ke Baitullah.
Kalau memang niatnya adalah membangun tata kelola haji dan umroh yang lebih professional dan berkeadaban dengan membentuk Kementerian Haji dan Umroh, silahkan focus membahas ketentuan itu, serta berbagai ketentuan terkaitnya.
Jangan melebar dengan melegalkan umroh mandiri yang sesungguhnya tidak menyelesaikan masalah, tapi justru menimbulkan masalah.
Editor : Alim Perdana