Mematahkan Logika “Karena Saudi Buka Nusuk Maka Kita Legalkan Mandiri/Backpacker”

ayojatim.com

Oleh Ulul Albab
Akademisi, Ketua ICMI Jawa Timur,
Kabid Litbang DPP Amphuri.

 
BELAKANGAN muncul wacana bahwa Indonesia harus menyesuaikan regulasi penyelenggaraan ibadah umrah karena Arab Saudi melalui platform Nusuk membuka “kran bebas” untuk jamaah yang ingin mengatur perjalanan secara mandiri.

Baca juga: Komisi VIII DPR Pastikan Umrah Mandiri Tak Akan Dilarang

Logika ini sekilas tampak rasional, yaitu: “jika Saudi membolehkan, maka Indonesia mestinya mengikuti”.

Namun, dalam praktik kebijakan publik, argumentasi semacam ini harus dikaji lebih dalam agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi jamaah maupun bagi tata kelola negara.

Logika yang Perlu Dipatahkan

Argumen yang menyatakan “karena Saudi membuka, maka Indonesia harus menyesuaikan” bersifat simplistik dan berpotensi menyesatkan.

Mengapa? Pertama, posisi Saudi dan Indonesia berbeda. Bagi Saudi, kebijakan Nusuk adalah instrumen diplomasi pariwisata keagamaan (religious tourism diplomacy) untuk mendiversifikasi ekonomi pasca-Visi 2030 (Alshareef, 2023, Tourism Management Perspectives).

Sementara bagi Indonesia, umrah adalah bagian dari penyelenggaraan ibadah umat yang masuk ranah perlindungan negara kepada warga negara (lihat Pasal 29 UUD 1945 dan UU No. 8/2019).

Kedua, membuka umrah mandiri tanpa regulasi ketat justru berpotensi meningkatkan risiko penipuan, overcharging, dan kerentanan jamaah di lapangan.

Sejumlah studi tentang independent religious travel menunjukkan bahwa wisatawan yang melakukan perjalanan mandiri cenderung menghadapi tingkat risiko lebih tinggi terkait keamanan, logistik, dan keterbatasan akses layanan darurat (Henderson, 2016, International Journal of Tourism Research).

Ketiga, pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa umrah backpacker atau mandiri tanpa perantara yang jelas justru memunculkan risiko serius yang tidak ditemui pada jamaah melalui skema resmi.

Bukan hanya karena agen tidak berizin, tetapi karena sifat mandiri itu sendiri memiliki kelemahan structural. Yaitu :

1.  Tidak Ada Sistem Penjaminan Kolektif:

Jamaah backpacker mengatur tiket, hotel, dan transportasi sendiri. Begitu terjadi masalah (misalnya penerbangan dibatalkan, visa bermasalah, atau akomodasi overbooked) tidak ada entitas yang berkewajiban menanggung dan melindungi mereka. Berbeda dengan PPIU yang diwajibkan menyiapkan back up plan dan asuransi perjalanan.

2.  Keterbatasan Layanan Darurat dan Konsuler:

Banyak jamaah backpacker berangkat tanpa pendamping yang menguasai medan. Begitu tersesat, sakit, atau dokumennya bermasalah, mereka sering kesulitan mengakses layanan resmi di Saudi.

Kemenag mencatat, sejak 2022 hingga kini, sebagian besar laporan jamaah terlantar yang masuk ke KJRI Jeddah datang dari kelompok backpacker. Bukan karena gagal berangkat, tapi karena gagal “survive” di lapangan.

3.  Rentan Penipuan Skema Semi-Mandiri: Banyak jamaah backpacker tetap membutuhkan bantuan pihak ketiga untuk visa dan tiket, sehingga mereka kerap menggunakan “jasa calo” atau agen informal. Modus inilah yang berulang kali menyebabkan kerugian. Contoh:

a.  13 jamaah asal Jawa Tengah (Oktober 2023) berangkat lewat jalur non-izin, setiba di Saudi tanpa hotel, transportasi, dan tiket pulang (data Kemenag).

b.  42 jamaah asal Jambi (November 2023) terlantar di Jeddah karena agen ilegal tidak membelikan tiket pulang meski sudah dilunasi (detikcom/Jambi Ekspres).

4.   Minim Bimbingan Ibadah:

Umrah itu ibadah, bukan sekadar perjalanan wisata; ada tata cara ibadah yang harus dijalani dengan benar. Jamaah backpacker sering mengabaikan aspek ini, sehingga ibadah yang sakral justru dilakukan tanpa pemahaman fiqh yang memadai.

Baca juga: Menata Regulasi Kuota Tambahan Haji, Masukan Untuk RUU Haji & Umroh

Semua ini menegaskan bahwa masalahnya bukan karena Saudi membuka Nusuk, tetapi karena di Indonesia tidak ada sistem perlindungan jika jamaah memilih jalur mandiri tanpa pengawasan.

Justru karena Saudi membuka akses, tanggung jawab negara untuk melindungi warga semakin besar. Regulasi yang kuat tetap dibutuhkan, agar akses digital Nusuk tidak berubah menjadi jebakan bagi jamaah Indonesia.

Logika yang Lebih Tepat

Logika yang lebih sehat adalah: Indonesia tidak wajib menyalin mentah kebijakan Saudi, tetapi wajib melindungi jamaahnya dengan regulasi yang adaptif, selektif, dan berdaulat.

“Adaptif”, karena regulasi harus mengakui adanya realitas baru berupa platform digital lintas negara (cross-border religious platforms).

“Selektif”, karena hanya sebagian aspek teknis (misalnya tiket atau akomodasi) yang dapat diakses mandiri, sementara aspek perlindungan jamaah tetap dikoordinasikan melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang berizin.

Dan, “Berdaulat”, karena regulasi Indonesia harus berangkat dari kebutuhan rakyat Indonesia, bukan semata mengikuti arah kebijakan negara lain.

Kerangka Hukum yang Perlu Dipertahankan

Pasal 86 UU No. 8 Tahun 2019 jelas mengamanatkan bahwa setiap perjalanan ibadah umrah wajib melalui PPIU.

Namun pasal ini bisa direvisi secara terbatas untuk mengakomodasi skema hybrid: jamaah boleh mengatur sebagian layanan mandiri melalui platform digital, tetapi tetap wajib terhubung dengan PPIU berizin sebagai penanggung jawab resmi di Indonesia.

Dengan demikian, hak jamaah untuk fleksibilitas diakui, namun perlindungan dan kepastian hukum tetap terjamin.

Baca juga: Menimbang Keadilan: Interval Waktu Seseorang Boleh BerHaji Kembali, 18 Tahun atau 5 Tahun?

Menegaskan Fungsi Negara

Pada titik ini, harus dipahami bahwa negara tidak sedang mengekang kebebasan warga negara (jamaah), tetapi justru melaksanakan mandat konstitusi, yaitu: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk dalam dimensi ibadah.

Sama seperti perjalanan haji yang diatur ketat melalui kuota resmi, umrah pun butuh regulasi yang seimbang.

Apabila Indonesia menyerahkan sepenuhnya kepada logika pasar bebas, yaitu dengan dalih mengikuti Saudi, maka dapat diartikan bahwa negara abai terhadap fungsi utamanya.

Padahal, dalam literatur public governance, ketiadaan regulasi negara pada sektor sensitive, seperti pelayanan keagamaan, justru memperbesar potensi regulatory capture dan kerugian jamaah (Dal Bó, 2006, Journal of Public Economics).

Penutup

Karena itu, Indonesia tidak boleh terjebak dalam logika simplistik yang sekedar fomo dengan dalih “Karena Saudi membuka, Ya kita ikut.”

Justru sebaliknya: Indonesia harus menegaskan kedaulatan regulasi dengan skema hybrid yang adaptif, selektif, dan berdaulat.

Dengan begitu, umat terlindungi, regulasi konstitusional terjaga, dan hubungan baik dengan Saudi tetap terpelihara tanpa harus mengorbankan kepentingan jamaah.

 

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru