Oleh: Ulul Albab
Ketua Litbang DPP Amphuri
MENANGGAPI Pernyataan Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, sebagaimana diberitakan kumparanNews, maka sebagai Ketua Bidang Litbang DPP AMPHURI, saya perlu menyampaikan sikap yang tegas sekaligus argumentatif terkait berkembangnya isu dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (RUU Haji dan Umrah) ini.
Baca juga: Menata Regulasi Kuota Tambahan Haji, Masukan Untuk RUU Haji & Umroh
Pernyataan ketua Komisi VIII DPR RI yang memastikan bahwa umrah mandiri tidak akan dilarang justru menimbulkan keprihatinan mendalam.
Bagi kami, umrah mandiri tidak boleh dilegalkan dalam kerangka regulasi nasional. Sikap ini bukan sekadar pandangan organisasi, melainkan hasil kajian mendalam yang mencakup berbagai aspek:
Pertama, aspek akademik. Berbagai studi tentang tata kelola ibadah lintas negara menunjukkan bahwa ketiadaan regulasi yang jelas justru membuka ruang ketidakpastian, kerentanan, dan market failure.
Umrah mandiri, tanpa mekanisme akuntabilitas dan pengawasan, akan menimbulkan asimetri informasi yang merugikan jamaah.
Negara seharusnya hadir bukan sekadar sebagai fasilitator, tetapi sebagai regulator yang memastikan keberlangsungan ibadah umat secara aman, tertib, dan bermartabat.
Kedua, aspek filosofis. Umrah bukanlah perjalanan wisata biasa. Ia adalah ibadah yang menuntut kekhusyukan, bimbingan, dan kebersamaan dalam suasana jamaah.
Legalisasi umrah mandiri akan mereduksi makna ibadah menjadi sekadar perjalanan personal yang transaksional, menghilangkan dimensi sosial dan kebersamaan umat yang justru menjadi ruh perjalanan spiritual.
Ketiga, aspek sosial. Pengalaman di lapangan menunjukkan, jamaah yang berangkat secara mandiri sering kali menghadapi masalah serius: tersesat, tidak memahami manasik, hingga kesulitan mengakses layanan darurat.
Baca juga: Menimbang Keadilan: Interval Waktu Seseorang Boleh BerHaji Kembali, 18 Tahun atau 5 Tahun?
Alih-alih memberi kemudahan, umrah mandiri justru berpotensi menambah beban sosial bagi negara ketika jamaah mengalami kesulitan di Tanah Suci.
Keempat, aspek yuridis. Undang-undang seharusnya menjadi instrumen perlindungan, bukan pembiaran. Jika umrah mandiri dilegalkan, maka akan muncul dualisme perlakuan: PPIU resmi dibebani kewajiban administrasi, pajak, dan standar pelayanan, sementara jamaah mandiri bebas tanpa ikatan hukum. Ini jelas mencederai prinsip equality before the law dalam tata kelola ibadah.
Kelima, aspek fiqih. Dalam perspektif fiqih, haji dan umrah adalah ibadah yang menuntut istitha’ah—kesiapan fisik, finansial, dan juga bimbingan ilmu. Jamaah yang berangkat tanpa bimbingan dan pendampingan berpotensi melaksanakan ibadah secara tidak sempurna bahkan keliru, sehingga menggugurkan nilai ibadah itu sendiri.
Negara memiliki kewajiban syar’i untuk memastikan umatnya beribadah secara benar, sesuai dengan prinsip hifdzud din (perlindungan agama) dan hifdzun nafs (perlindungan jiwa).
Berdasarkan alasan akademik, filosofis, sosial, yuridis, dan fiqih di atas, kami menegaskan penolakan terhadap legalisasi umrah mandiri.
Baca juga: Logika Melegalkan Umrah Backpacker Adalah Logika yang Menyesatkan
Kami mendorong DPR RI dan pemerintah agar dalam membahas RUU Haji dan Umrah benar-benar memperhatikan aspirasi umat, mendengarkan pandangan asosiasi resmi penyelenggara, dan menempatkan perlindungan jamaah sebagai tujuan utama.
Legalisasi umrah mandiri bukanlah solusi. Yang dibutuhkan adalah regulasi yang tegas, adil, dan berpihak pada jamaah serta keberlangsungan penyelenggaraan ibadah.
Editor : Alim Perdana