DI banyak daerah di Indonesia, prosesi tunangan bukan hanya sekadar pertemuan dua keluarga untuk menyatukan dua insan, tapi juga sering menjadi ajang pamer status sosial.
Dalam praktiknya, acara lamaran biasanya berlangsung meriah, dengan iring-iringan membawa kue, buah, bingkisan pakaian, dan makanan mewah. Tampak indah dari luar, namun di baliknya ada beban sosial dan ekonomi yang tidak sedikit.
Baca juga: Kesiapan Brigif 2 Marinir Hadapi Upacara Kehormatan Militer VALOR
Sebagian orang beranggapan bahwa banyaknya bawaan saat lamaran adalah bentuk penghormatan kepada keluarga calon pengantin perempuan. Namun, sering kali hal ini berubah menjadi “standar adat” yang membebani.
Keluarga calon pengantin laki-laki merasa wajib membawa makanan dan hadiah dalam jumlah tertentu demi “terlihat layak” di mata masyarakat, bukan karena kebutuhan yang sebenarnya.
Dari kacamata sosiolog Pierre Bourdieu, ini adalah bentuk distingsi, cara keluarga menunjukkan kelas sosial dan menegaskan stratifikasi budaya. Makanan dan hadiah menjadi modal simbolik untuk mendapat pengakuan sosial.
Masalahnya, hal ini bisa menjadi bentuk penindasan budaya yang halus, terutama terhadap keluarga dari kelas ekonomi bawah yang merasa “kurang pantas” hanya karena tidak mampu tampil mewah.
Pandangan ini sejalan dengan konsep conspicuous consumption dari Thorstein Veblen, yaitu perilaku mengonsumsi bukan untuk kebutuhan, tetapi untuk menunjukkan kekayaan dan kehormatan. Akibatnya, tunangan lebih sering menjadi ajang pamer daripada momen sakral untuk menyatukan dua keluarga.
Jika dilihat dari sudut pandang Islam, lamaran atau khitbah hanyalah proses permintaan menikah dari pihak laki-laki kepada wali perempuan. Ia tidak mengikat secara hukum seperti akad nikah, dan tidak ada ketentuan syariat tentang bentuk atau isi hantaran.
Artinya: "Nikah yang paling besar keberkahannya adalah yang paling ringan maharnya." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Hakim)
Al-Qur’an juga memberi panduan jelas. Dalam QS. Al-Isra’ ayat 26–27, Allah berfirman:
26 27
Artinya: Berikanlah kepada kerabat dekat haknya, (juga kepada) orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros (26) Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya. (27)
Demikian pula QS. Al-Furqan ayat 67:
Baca juga: DFS Group Kembangkan Bisnis di Indonesia, Buka Gerai Baru di Surabaya dan Jakarta
Artinya: “Dan, orang-orang yang apabila berinfak tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir. (Infak mereka) adalah pertengahan antara keduanya.”
Prinsip wasatiyyah (moderat) ini berlaku dalam semua aspek kehidupan, termasuk acara tunangan. Islam mengajarkan agar momen sosial seperti khitbah tidak dijadikan ajang pemborosan dan tidak menimbulkan tekanan sosial.
Sosiolog Anthony Giddens menjelaskan bahwa tradisi bukanlah takdir yang harus diterima mentah-mentah. Masyarakat punya agensi, yaitu kemampuan untuk mengubah dan menegosiasikan kembali nilai budaya agar tetap berjalan tanpa membebani.
Sementara itu, menurut Emile Durkheim, tradisi kolektif berfungsi memperkuat solidaritas masyarakat. Tapi jika bentuk ritual justru menimbulkan ketimpangan dan beban sosial, maka ia kehilangan fungsi pemersatunya dan berubah menjadi alat eksklusi.
Dalam konteks Indonesia, sosiologi Islam-nusantara mendorong transformasi budaya dengan pendekatan ta’db (pendidikan), bukan penghapusan paksa. Solusinya bukan menghapus tradisi tunangan, tetapi mengelola dan menyesuaikannya agar tetap membawa maslahat.
KH Afifuddin Muhajir, ulama fikih dan ushul fikih NU, pernah menegaskan:
Baca juga: Tiga Perjanjian Suci dalam Al-Qur'an: Ketika Akad Nikah Disetarakan dengan Amanah Para Nabi
“Segala adat boleh dijalankan selama tidak bertentangan dengan maqashid syariah. Jika menimbulkan mudarat, maka harus dikaji ulang dan diperbaiki.”
Inilah yang disebut ijtihad budaya, kemampuan umat Islam untuk memfilter tradisi sesuai dengan nilai Islam. Tradisi boleh dijalankan, tapi tidak boleh menimbulkan kesulitan (masyaqqah) atau ketimpangan sosial yang bertentangan dengan tujuan syariah, seperti if al-ml (menjaga harta) dan if al-‘ird (menjaga kehormatan).
Tunangan adalah bagian dari perjalanan menuju pernikahan. Ia seharusnya menjadi momen memperkuat niat dan restu kedua keluarga, bukan ajang gengsi yang memberatkan.
Dengan melihatnya dari sudut pandang agama dan sosiologi, kita diajak untuk mempertahankan hal baik dari adat, sekaligus mengkritisi yang memberatkan.
Sudah saatnya budaya tunangan diubah dari sekadar ritual mahal menjadi peristiwa yang ringan namun bermakna. Keberkahan rumah tangga tidak diukur dari banyaknya kue hantaran atau kemewahan jamuan, melainkan dari niat yang tulus, doa orang tua, dan tekad membangun keluarga yang sakinah.
Penulis: Mochammad Fuad Nadjib
Penghulu Kementrian Agama Kabupaten Sidoarjo.
Kepala Madrasah Diniyah Takmiliyah al-Maidah Durungbedug
Editor : Alim Perdana